Jumat, Maret 20, 2009

Harga pangan cenderung naik

International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan harga pangan dunia akan naik lebih cepat dibanding pemulihan ekonomi dunia setelah resesi. Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, pada akhir tahun 2009-2010 harga pangan dunia diperkirakan akan tinggi, sama seperti kondisi awal tahun 2008. Penurunan permintaan yang dimulai pada September 2008, telah menyebabkan harga-harga anjlok. Di sisi lain, sebagai akibat dari krisis global, investasi di bidang pangan turun. sehingga pertumbuhan produksi menjadi lebih kecil. Hal ini menyebabkan produksi pangan menurun sehingga harga pangan akan kembali merangkak naik.

IFPRI menyarankan agar investasi di sektor pangan dan gizi ditingkatkan, karena jika kondisi penurunan investasi pangan dibiarkan, dalam jangka waktu 20-30 tahun akan mengancam gizi buruk bagi anak-anak. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menjaga kemananan pangan dan nutrisi (food and nutrition security). Meski kondisi ekonomi lesu dan pangan tidak akan dikorbankan, tetapi gizi yang akan dikorbankan. Kondisi gizi anak-anak yang buruk dapat mengakibatkan kondisi ekonomi yang buruk pula pada 20-30 tahun mendatang. IFPRI mengimbau jika terpaksa harus memilih untuk dana yang sedikit untuk investasi, maka lakukanlah investasi di bidang pangan dan gizi.

Bagi pengamat ekonomi Indef Aviliani, ketergantungan bahan pangan impor menjadi penyebab utama naiknya harga pangan. Selain membuat juga tekanan inflasi sebesar 0,21% pada Februari 2009, inflasi yang terjadi juga akibat tingginya nilai tukar rupiah terhadap USD. Indonesia masih sangat bergantung pada barang-barang impor. Meski bahan bakunya berasal dari dalam negeri, namun komponen pendukungnya diperoleh dari impor sehingga menyebabkan harga bahan kebutuhan pangan ikut naik.

Sekalipun pemerintah sempat menurunkan harga BBM, namun faktor BBM tidak banyak mempengaruhi harga bahan pangan. Karena BBM hanya komponen kecil dari distribusi barang maupun transportasi. Yang harus diperhatikan di sini adalah subsitusi impor. Harga makanan masih dapat berfluktuasi sepanjang rupiah juga masih mendapat tekanan. Pemerintah dinilai tidak banyak melakukan usaha untuk menstabilkan harga bahan pangan. Pemerintah hanya mengatur harga pada tiga komoditi saja yaitu terigu, gula dan beras melalui Bulog. Padahal kenaikan lebih banyak terjadi di luar ketiga bahan pokok tersebut.

Pemerintah menilai menilai laju inflasi pada Februari 2009 sebesar 0,21% masih normal. Pasalnya, selama enam tahun terakhir inflasi pada bulan Februari biasanya di atas 0,5% masih tergolong normal. Meski demikian, pemerintah tetap mencermati perkembangan laju inflasi saat ini, sebab jika pemicu inflasi berasal dari komponen bahan makanan maka akan mengurangi daya beli masyarakat.

Pemerintah, dalam hal ini Menkeu Sri Mulyani Indrawati, melihat dari komponen makanan ada yang meningkat terutama beras. Selama musim panen belum tiba, harga beras memang meningkat. Musim panen sendiri baru berlangsung pada bulan Maret 2009. Data BPS menunjukkan harga beras pada Februari 2009 naik 2% dan memberikan sumbangan inflasi 0,08%. Namun lonjakan ini lebih disebabkan siklus tahunan pada Februari sebelum terjadi panen.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar menjelaskan, kenaikan harga beras yang terjadi pada awal tahun 2009 ini disebabkan oleh pengaruhi musim hujan. Banjir yang terjadi di beberapa daerah menyebabkan distribusi beras terganggu. Penyaluran raskin ikut terganggu karena faktor cuaca. Sejak awal tahun, raskin yang sudah disalurkan sebanyak 180 ribu ton atau 22% dari target sepanjang tahun 2009.

Mengenai pengadaan atau pembelian beras petani oleh Bulog, realisasinya bisa lebih cepat dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2008 pengadaan baru bisa dimulai pada pekan keempat Februari. Sedangkan tahun 2009 ini sudah dilaksanakan pekan kedua Januari 2009. Sampai pekan pertama Maret 2009, pengadaan sudah mencapai 220 ribu ton. Sepanjang tahun 2009 target pengadaan beras ini ditetapkan sebesar 3,8 juta ton. Pengadaan yang sudah dilakukan baru 5,5% lantaran petani baru melakukan panen kecil-kecilan. Panen raya diperkirakan mulai dilakukan pertengahan Maret sampai Mei 2009.

Sementara itu praktisi pertanian Siswono Yudo Husodo menekankan semua pihak hendaknya memperjuangkan peningkatan daya beli masyarakat dibanding merancang program harga pangan murah. Kenaikan daya beli akan mendorong kemampuan masyarakat membeli harga pangan yang menguntungkan petani. Konsep harga pangan murah justru berpotensi melanggengkan kemiskinan petani. Harga jual produk pangan yang dibuat murah bagi konsumen membuat keuntungan petani makin rendah akibat selisih pendapatan dan biaya produksi yang makin kecil. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan produksi pertanian sehingga dikhawatirkan ketergantungan pada produk pangan impor akan kembali tinggi, bahkan Indonesia bisa menjadi net importir.

Senada dengan Siswono, Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hermanto Siregar mengatakan, harga pangan rendah membuat petani tidak mau berproduksi. Hal itu merupakan disinsentif bagi petani. Untuk itu harga komoditas pertanian yang dikendalikan pemerintah seperti beras, kenaikan HPP-nya harus ditingkatkan melampaui tingkat inflasi. Kenaikan HPP terakhir hanya 10%, artinya masih di bawah inflasi yang mencapai 12% sehingga pendapatan petani selalu di bawah kebutuhannya.

Dampaknya, saat hasil panennya habis dan harus menjadi net konsumen, petani tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Rendahnya produksi tersebut juga disebabkan produktivitas pertanian yang sangat terbatas akibat tingkat kepemilikan lahan para petani Indonesia sangat rendah, yaitu rata-rata 0,25 ha. Pemerintah, dalam hal ini Perum Bulog, harus membeli hasil panen petani dengan harga yang bagus, sedangkan untuk masyarakat miskin pemerintah harus memberikan subsidi harga seperti raskin yang disediakan Perum Bulog.

Peneliti dan pengamat masalah pertanian Dwi Andreas Santosa mengatakan, jika ingin memproteksi petani, pemerintah harus berani membeli produk pangan dari petani dengan harga yang tinggi. Kemudian produk itu dijual ke konsumen dengan harga rendah. Hal serupa telah dilakukan di Jepang. Pemerintah Jepang membeli harga produk pertanian dari petaninya dengan harga yang lebih tinggi, kemudian menjual ke konsumen dengan harga yang rendah. Hal tersebut membuat produksi pertanian Jepang meningkat bahkan terjadi surplus. (AI)


Tidak ada komentar: