Rabu, Maret 04, 2009

Kontroversi puyer

Polemik yang beredar mengenai obat puyer atau racikan membuat mayarakat ragu-ragu menggunakan obat itu. Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, adanya oknum yang membuat puyer menjadi berbahaya bukan berarti puyer tidak boleh dipakai lagi. Sejak zaman dulu, obat berbentuk puyer sering digunakan masyarakat terutama di daerah-daerah terpencil.

Obat jenis ini juga tidak bisa dikatakan berbahaya jika peracikan dilakukan dengan benar. Kontroversi ini dikhawatirkan bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat dan pencitraan negatif terhadap profesi dokter secara umum di Indonesia. Padahal, pemberian resep obat dalam bentuk puyer oleh seorang dokter adalah bagian dari rangkaian praktik kedokteran.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan tidak ada masalah dalam penggunaan obat puyer untuk tindakan pengobatan selagi memenuhi syarat ketentuan dan prosedur. Ketua Umum IDI Fahmi Idris mengimbau pihak yang dirugikan akibat praktik tenaga medis agar melapor ke IDI dengan dilengkapi identitas pelapor dan bukti-bukti yang cukup. Selanjutnya akan diproses oleh Majelis Etik untuk dibuktikan bersalah atau tidak berdasarkan kacamata ilmu kedokteran.

Dalam Pasal 80 ayat (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan, barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 juta.

Menurut dr Purnamawati S Pujiarto, penggunaan obat puyer menjadi polemik di sejumlah negara. Di negara-negara miskin seperti Bangladesh dan negara-negara Afrika, penggunaan puyer sudah ditinggalkan karena banyaknya kelemahan. Di India yang populasinya sangat padat, jumlah pengunjungnya ke poliklinik lebih tinggi, tapi ternyata puyer tidak menjadi pilihan. Berdasarkan catatan, ratusan tahun lalu puyer lahir karena ketersediaan obat untuk anak sangat terbatas. Untuk menyiasati keterbatasan ini, obat orang dewasa dihaluskan untuk menyesuaikan dosis anak yang lebih kecil sesuai berat badannya.

Namun seiring dengan perkembangan teknologi, puyer sudah mulai ditinggalkan. Selain ketersediaan obat jadi untuk anak sudah cukup banyak, risiko yang ditimbulkan lebih banyak daripada manfaatnya. Farmakalog Universitas Indonesia Riyanto Setiabudi mengatakan, meracik puyer sudah tidak dipelajari lagi calon dokter di bangku kuliah. Tapi karena tradisi, dokter senior pun belajar dengan dokter senior lainnya untuk meracik puyer ini.

Kebiasaan ini susah hilang karena di benak masyarakat sudah tertanam puyer lebih manjur dibanding obat lainnya. Negara-negara lain sudah mulai meninggalkan metode pemberian resep obat puyer terhadap pasien-pasiennya. Malaysia telah tegas mengambil sikap dengan menghentikan penggunaan obat puyer di negaranya. Namun hingga kini, Indonesia belum mau mengarah ke sana.

Munculnya polemik obat puyer bahkan obat-obat jenis lainnya menjadi salah satu keprihatinan bagi dunia kesehatan di Tanah Air. Hal itu terjadi karena lemahnya pengawasan dari negara. Pasalnya selama ini tidak ada standar baku dan sistem pengawasan yang berkesinambungan dalam mengontrol kualitas obat-obatan yang digunakan dalam dunia kesehatan.

Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan, sebenarnya tidak hanya obat puyer yang bermasalah, tapi banyak obat asal pabrikan dan beredar luas di pasaran sebenarnya berbahaya jika digunakan. Malah lebih memprihantinkan, masalah ini sudah berlangsung cukup lama. Pembuatan obat puyer dan obat pabrikan di Indonesia diragukan telah sesuai dengan teori pembuatan obat yang baik. Pasalnya, tidak ada uji kualitas secara rutin untuk mengetahui proses pembuatan dan standar kualitas obat yang diuji dalam rentang waktu tertentu, dan dilaporkan secara periodik pula.

Semestinya pemerintah dapat belajar dari kasus susu melamin di China. Pemerintah setempat mengambil langkah cepat, salah satunya dengan menindak tegas pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Sementara di Indonesia, sudah terbukti ada obat, makanan atau minuman yang mengandung bahan berbahaya tidak ditindak tegas. Memang sudah ada UU Kesehatan, tapi pada kenyataannya terjadi tumpang tindih antara Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), dan pihak industri

Menanggapi hal ini Kepala BPOM Husniah Rubiana mengatakan, BPOM tidak memiliki kewenangan dalam persoalan obat puyer, khususnya untuk memberikan tindakan pada dokter yang berpraktik meracik obat berbentuk serbuk tersebut. Meski demikian, BPOM menegaskan semua obat-obatan yang diracik harus sesuai prosedur dan dilakukan di tempat yang higienis. Hal itu harus menjadi perhatian untuk menjaga kualitas obat dan aspek keamanan konsumen.

Meski muncul perbedaan pendapat baik yang pro maupun yang kontra soal penggunaan obat puyer kepada pasien, namun Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Kabupaten Bantul, DIY, tetap menggunakan obat tersebut karena penggunaan obat puyer tidak berbahaya bagi pasien. Pasalnya rumah sakit ini membuat obat puyer dengan mesin, sehingga kekhawatiran akan higienitas, dosis atau takaran obat akan berbeda dan dampak negatif yang lainnya dapat dihindari. Bahkan proses pembungkusan obat puyer dilakukan dengan mesin sehingga pasien tidak perlu khawatir.

Di RSD Panembahan Senopati Bantul, obat puyer lebih banyak diberikan kepada balita ataupun lansia yang mengalami kesulitan menelan obat berupa pil atau kapsul. Untuk balita, misalnya, jika tidak ada obat sirup maka obat puyer akan diberikan karena tidak mungkin bayi menelan pil. Begitu pula dengan pasien lansia yang kesulitan menelan obat yang berbentuk kapsul, akan diberi obat puyer. Pembuatan obat puyer dengan mesin di Kabupaten Bantul ini juga sudah diterapkan diseluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Bantul, sehingga takaran atau dosis obat, higienitas atau dampak negatif yang lainnya dapat dihindari.

Sementara dari Palembang, Sumatera Selatan dilaporkan, masyarakat yang meragukan pembuatan puyer mendorong YLKI Palembang mengecek pembuatan obat itu pada apotek dan rumah sakit serta puskesmas dan menertibkan praktik pemrosesan obat tidak sesuai ketentuan. YLKI siap bersama-sama turun dan mengecek langsung praktik pembuatan obat puyer tersebut yang selama ini dinilai tidak memenuhi standar kelayakan produksi obat. Ketua YLKI Sriwijaya Taufik Husni mengatakan, pihaknya segera mengajak BPOM untuk mengecek langsung pembuatan obat puyer pada setiap apotek, rumah sakit dan puskesmas. (AI)


Tidak ada komentar: