Senin, April 06, 2009

Rotan

Departemen Perdagangan (Depdag) sedang merevisi aturan ekspor bahan baku rotan yang ada pada Permendag No.12/2005, tujuannya untuk memperjelas pasokan bagi industri kerajinan rotan dalam negeri. Menurut Dirjen Perdagangan Depdag Diah Maulida, dalam aturan yang baru nanti prosedur wajib pasok bahan baku kepada industri kerajinan rotan diperjelas karena selama ini masih terjadi penyimpangan. Misalnya, ada eksportir yang memasok industri dalam negeri, ternyata industri yang dipasok ini juga pedagang yang akan mengekspor rotan ini.

Pemerintah mensyaratkan siapapun yang ingin melakukan ekspor rotan harus sudah sebelumnya memasok rotan untuk industri dalam negeri. Pasalnya, banyak pihak yang mensinyalir dengan dibukanya kran ekspor maka pasokan rotan untuk industri dalam negeri bakal merosot. Berdasarkan pertimbangan sementara hasil koordinasi antara Depdag dan Asosiasi Pengusaha Meubel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), kuota ekspor ditetapkan setidaknya 30% dari pasokan eksportir tersebut kepada industri dalam negeri.

Sebagai bukti sudah memasok ke dalam negeri, pemerintah membutuhkan masukan asosiasi untuk mengetahui eksportir sudah mengekspor rotan ke mana saja. Persyaratan wajib pasok dalam negeri tersebut harus bisa dibuktikan ke pemerintah saat mendaftarkan diri menjadi eksportir terdaftar. Selain itu ekspor rotan juga sudah diatur kuotanya, mengingat kuota 30% bukan angka mutlak. Misalnya saat pasokan bahan baku banyak, sedangkan industri dalam negeri sedang turun karena permintaan turun, maka kuota bisa diperbesar atau sebaliknya.

Produksi rotan olahan pada tahun 2008 lalu hanya mencapai sekitar 70.000 ton dengan tingkat utilisasi sekitar 12,69% dari total kapasitas terpasang 551.685 ton. Volume produksi tersebut dihasilkan sekitar 400 perusahaan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, rendahnya produksi rotan olahan dipicu kian sulitnya produsen mengakses bahan baku.

Sejak tahun 2005, produksi rotan olahan cenderung stagnan. Kinerja produksi pada tahun 2008 bahkan tercatat yang paling buruk yakni turun sekitar 30% dibanding realisasi produksi sepanjang 3 tahun sebelumnya. Volume produksi pada tahun 2008 hanya setara dengan 40.519,89 m3 dari total kapasitas produksi sekitar 319.202,3 m3.

Keadaan ini dinilai sangat ironis mengingat Indonesia memiliki sumber rotan terbesar di dunia yakni menghasilkan sekitar 80% dari seluruh pasokan dunia. Namun, potensi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri sehingga pasar furnitur rotan dunia justru dikuasai negara-negara yang tidak memiliki potensi bahan baku, seperti China dan Italia.

Dirjen Industri Agro dan Kimia Deperin Benny Wachjudi mengatakan, selain keterbatasan akses bahan baku, industri rotan dihadapkan pada persoalan kemampuan desain, jumlah tenaga terampil, lemahnya pemasaran, permodalan, iklim usaha serta masih kurangnya dukungan infrastruktur. Permasalahan bahan baku rotan dimulai muncul sejak tahun 2005, ketika diterbitkan Permendag No.12/2005 yang mengizinkan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Dengan dikeluarkannya kebijakan itu, pemanfaatan kapasitas terpasang semakin menurun dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Depperin, total perusahaan pengolahan rotan hingga tahun 2007 tercatat 614 unit. Namun pada tahun 2008 lalu jumlahnya berkurang 214 unit usaha. Penyusutan jumlah usaha itu berpotensi semakin besar mengingat pada tahun ini industri rotan dunia mengalami tekanan cukup besar akibat resesi ekonomi. Saat ini pekerja langsung di sektor pengolahan rotan mencapai 276.584 orang.

Namun demikian, pengusaha mebel rotan di Cirebon optimistis permintaan pasar pada semester I/2009 akan jauh lebih baik dari semester II/2008. Sebab pada bulan Januari 2009 ekspor rotan sekitar 2.500-3.000 kontainer, atau 80% dari rata-rata ekspor sebelum krisis. Menurut Ketua Masyarakat Rotan Cirebon Badrudin, ekspor mebel rotan selama bulan Januari 2009 mencapai 2.900 kontainer. Melihat permintaan pasar Eropa yang cenderung stabil, permintaan AS yang mulai bergairah kembali, dan dari Afrika dan Timur Tengah yang menjanjikan, pada Februari 2009 ekspor mebel rotan Cirebon diperkirakan akan sama, sekitar 2.500-3.000 kontainer.

Sebelum krisis global, jumlah ekspor rotan Cirebon sekitar 3.000-4.000 kontainer per bulan. Namun saat terjadi krisis global, permintaan pasar turun sampai 50%, terlebih dari AS, termasuk dari Eropa. Lesunya daya beli konsumen di luar negeri menyebabkan stok mebel rotan di gudang importir menumpuk sehingga pesanan ke pabrik di Cirebon ditahan sementara, atau berkurang.

Namun, belum semua pabrik ordernya naik. Seorang pengusaha mebel menjelaskan, permintaan importir juga masih sedikit dan bertahap. Pengiriman barang ke luar negeri pada bulan Januari-Februari 2009 merupakan order pada bulan November dan Desember 2008, yang terlambat dikirim. Apabila dilihat dari kondisi 2007-2008, kecenderungan ekspor rotan Cirebon malah menurun. Permintaan dari Eropa masih tetap jalan, tapi permintaannya tidak sekaligus banyak karena mereka juga baru mulai pulih dari krisis.

Sementara itu, pengusaha mebel juga mendesak pemerintah segera menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) rotan. Penghapusan tersebut dibutuhkan untuk menambah daya saing produk rotan Indonesia di tengah krisis finansial. Selama ini rotan setengah jadi yang dikirimkan antarpulau dikenakan pajak sebesar 10%. Pajak itu membuat produk jadi lebih mahal, akibatnya mebel rotan buatan Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani sempat mengumumkan pemerintah akan menanggung fasilitas PPN untuk tujuh belas sektor. Salah satunya disebutkan rotan akan dialokasikan pembebasan pajak sebesar Rp100 miliar. Namun, rencana tersebut dibatalkan karena stimulus pada bahan baku dianggap tak akan langsung menurunkan harga barang jadi.

Asosiasi memperkirakan, krisis finansial akan menyebabkan pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan tahun 2009 ini turun menjadi 5%, padahal tahun lalu mencapai 11%. Pada tahun 2008, ekspor tercatat sebesar USD2,55 miliar (Rp28,6 triliun), atau tumbuh 11% dari USD2,3 miliar dibanding tahun 2007. Sementara tahun 2009 ini ekspor diperkirakan berada di kisaran USD2,68 miliar atau sekitar Rp30,3 triliun. (AI)


Tidak ada komentar: