Senin, April 20, 2009

Gula

Deptan menargetkan produksi gula putih atau gula konsumsi pada tahun 2009 mencapai 2,84 juta ton, sehingga bisa mencukupi seluruh kebutuhan dalam negeri tanpa perlu mengimpor. Menurut Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Mangga Barani, pada tahun 2008 produksi gula putih nasional mencapai 2,74 juta ton sedangkan kebutuhannya hanya 2,7 juta ton.

Sementara itu produktivitas lahan perkebunan tebu pada tahun 2009 ini secara umum bervariasi. Namun untuk Jawa rata-rata 79,6 ton/ha sedangkan luar Jawa 76,1 ton/ha dan nasional 78 ton/ha, dengan rendemen tebu rata-rata 8,27%. Luasan areal perkebunan tebu pada tahun 2008 berkurang 20.000 ha karena saat itu harga gula rendah sehingga minat petani untuk budi daya tanaman tebu berkurang. Namun untuk tahun 2009 petani kembali bergairah karena harga bagus, sehingga petani memelihara tanamannya dan berdampak pada peningkatan produktivitas dan rendemen.

Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI) Arum Sabil, dari taksasi produksi gula secara nasional, besarnya kapasitas giling terpasang seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencapai 225.303 ton tebu/hari. Angka ini didapat dari luas area mencapai 441.318 ha. Untuk rendemen, rata-rata yang dihasilkan 8,21 dan gula yang dihasilkan bisa mencapai 2.850.019 ton/tahun.

Taksasi produksi gula tersebut didasarkan luas lahan maupun produksi gula baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa. Untuk Jawa, sedikitnya ada 10 perusahaan gula. Masing-masing, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT Rajawali I, PT Rajawali II, PT Kebon Agung, PT PG Madu Baru, PT Candi, PT Industri Gula Nusantara, dan PT Pakis Baru. Sepuluh perusahaan tersebut membawahi 51 pabrik gula (PG). Sementara untuk luar Jawa terdapat 8 perusahaan gula, yakni PTPN II, PTPN VII, PTPN XXIV, PT Gunung Madu Plantation, PT Gula Putih Mataram, PT Sub Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan PT Gorontalo. Delapan perusahaan tersebut membawahi 12 PG.

Meski harga gula terus merangkak naik, pemerintah memastikan tidak akan menambah jatah volume impor gula untuk tahun 2009 ini. Alokasi izin impor gula masih tetap 1,6 juta ton. Namun untuk gula industri masih harus diimpor. Kebutuhan gula industri di dalam negeri, sebanyak 1,8 juta ton sementara produksi nasional raw sugar baru mencapai 100 ribu ton, sehingga kekurangannya didatangkan dari luar.

Namun demikian, pada tahun 2014 Indonesia diperkirakan sudah bisa memenuhi sendiri seluruh kebutuhan gula mentah untuk bahan baku industri. Dengan kondisi tersebut, untuk tahun 2009 ini produksi gula nasional diharapkan juga mengalami peningkatan sehingga mencapai target 2,84 juta ton.

Harga gula rafinasi tampaknya bakal naik lagi. Pasalnya harga raw sugar sebagai bahan baku gula rafinasi, terus melonjak di pasar internasional. Pada Desember 2008 harga raw sugar masih di kisaran harga USD247/ton, Januari 2009 USD270/ton, dan Februari USD286/ton. Dengan kondisi ini, kemungkinan produsen akan kembali mengoreksi harga. Padahal, baru bulan Januari 2009 lalu produsen menaikkan harga gula rafinasi sebesar 5% - 6%.

Pada Januari 2009 harga gula rafinasi di tingkat produsen sekitar Rp5.500 - Rp5.600/kg. Dengan kenaikan harga gula mentah belakangan ini, maka harga gula rafinasi di tingkat produsen bakal naik menjadi Rp6.600/kg. Produsen menduga, kenaikan harga gula mentah dipicu harga minyak mentah dunia yang mulai merangkak naik. Beban produsen bertambah seiring pelemahan nilai tukar rupiah ke kisaran Rp12.000/USD.

Masalahnya, dalam dua tahun terakhir produksi gula rafinasi cenderung menurun. Pada tahun 2007, produksi gula rafinasi dari lima perusahaan dalam negeri mencapai 1,4 juta ton. Pada tahun 2008, produksi turun menjadi 1,1 juta ton. Tahun 2009 ini jumlahnya bakal lebih rendah lagi karena yang beroperasi baru dua pabrik gula.

Kenaikan harga gula rafinasi mengakibatkan para konsumennya harus merogoh koceknya lebih dalam lagi. Sekretaris Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) Suroso Natakusumah mengaku, gula menjadi bagian penting dalam komposisi biaya produksi industri minuman ringan. Jadi, kenaikan harga gula rafinasi pasti mengubah komponen harga jual mereka. Bila harga gula rafinasi terus meningkat, maka harga beberapa produk makanan dan minuman juga bakal ikutan naik.

Pengusaha menyambut positif aturan Mendag atas penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula rafinasi. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat perihal distribusi gula rafinasi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah. Petunjuk pendistribusian gula rafinasi ini tetap dalam kerangka SK Menperindag No.527/2004, bahwa gula kristal rafinasi hanya untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengguna.

Mendag Mari Pangestu mengungkapkan, untuk proses monitoring, produsen, distributor, dan sub distributor wajib melaporkan secara berjenjang baik kepada dinas setempat maupun kepada pemerintah pusat. Jika diusut lebih jauh, ternyata yang memprakarsai keluarnya regulasi tersebut adalah industri kecil makanan dan minuman. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan pasokan gula rafinasi. Untuk mengantisipasi kebocoran ke pasar konsumsi gula, pemerintah harus memberi sanksi pada distributor yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penyaluran gula kristal rafinasi

Menurut Ketua Bidang Regulasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani, sekarang industri rumah tangga makanan dan minuman di tingkat kabupaten dan provinsi bisa mendapatkan gula rafinasi. Industri bisa menunjuk distributor atau menggunakan subdistributor untuk mendapat pasokan. Namun sebetulnya regulasi tersebut tidak lengkap karena berpotensi terjadinya kebocoran. Artinya, pada saat industri gula rafinasi mendistribusikan produknya melalui rantai distribusi, masih ada potensi produk tersebut dibeli oleh pedagang lain.

Sementara itu, pemerintah melalui Depperin meluncurkan program revitalisasi mesin PG dengan anggaran sebesar Rp50 miliar untuk tahun 2009. Menurut Dirjen Industri Logam Mesin, Tekstil, dan Aneka Depperin Ansari Bukhari, revitalisasi mesin di PG ditujukan untuk meningkatkan rendemen atau hasil produksi gula dari tebu hasil produksi pabrik lokal. Selama ini, tingkat rendemen PG lokal masih di bawah 10% karena diproduksi oleh mesin-mesin dan pabrik yang sudah tua.

Program revitalisasi pabrik gula merupakan pemberian potongan harga 10% dari nilai mesin yang dibeli produsen gula. Meski demikian, Depperin hanya memberikan potongan harga bagi PG yang membeli mesin buatan dalam negeri. Hal ini dengan pertimbangan banyak perusahaan di dalam negeri yang sudah mampu membuat mesin untuk PG. Pemerintah sudah membuka pendaftaran program revitalisasi terhitung 28 Maret 2009 hingga 30 Juni 2009. (AI)


Tidak ada komentar: