Senin, Januari 11, 2010

Garam

Pemerintah menargetkan akan menghentikan impor garam konsumsi pada tahun 2012 dan pada tahun 2015 akan menghentikan impor garam produksi. Selama ini total kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Kebutuhan tahun 2007 sebesar 2, 6 juta ton, pada tahun 2008 meningkat tajam hingga mencapai 2,7 juta ton. Pada tahun 2009 kebutuhannya diprediksi mencapai 2,8 juta ton. Kebutuhan itu mencakup garam rumah tangga, industri alkali (Chlor Alkali Plan/CAP), industri pangan, pengeboran minyak, dan industri lainnya.

Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), produksi garam nasional pada tahun 2008 hanya sekitar 1,2 juta ton. Dengan menggunakan perkiraan angka produksi yang sama dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan garam nasional tahun 2009 yang mencapai 2,8 juta ton, maka ada kekurangan sebesar 1,6 juta ton. Angka ini digunakan oleh pemerintah sebagai patokan untuk melakukan impor garam.

Impor garam beryodium pada tahun 2010 juga diperkirakan naik dibandingkan dengan kuota impor tahun 2009 menjadi 300.000 ton, mengingat produksi lokal pada tahun 2009 hanya mencapai 1,1 juta ton dari total kebutuhan 1,4 juta ton. Menurut Asosiasi Produsen Garam Konsumsi dan Beryodium (Aprogakob), kuota impor garam beryodium tahun 2009 sebesar 200.000 ton, atau sama dengan kuota tahun sebelumnya.

Realisasi impor garam iodisasi untuk tahun 2009 hanya 99.754 ton atau sekitar 80% dari total jumlah yang dialokasikan kepada tiga importir produsen 117.500 ton. Semula Depdag menetapkan kuota impor garam iodisasi pada 2009 sebesar 200.000 ton. Namun, hanya direalisasikan pembagian kuota impor 117.500 ton karena alasan pemenuhan kebutuhan garam dari dalam negeri.

Importir garam beryodium berbeda dengan impor garam industri (importir terdaftar) yang tidak perlu menunjukkan penyerapan, karena bukan sebagai produsen. Berdasarkan data Depdag, hanya tiga importir terdaftar yang melakukan impor garam iodisasi, yakni PT Sumatraco Langgeng Makmur, PT Susanti Megah, dan PT Garindo Sejahtera Abadi, dengan kuota masing-masing 27.500 ton, 30.000 ton, dan 60.000 ton.

Persediaan garam konsumsi nasional pada akhir tahun 2009 sebanyak 500.000 ton, yang tersimpan di gudang-gudang petani dan menunggu untuk diiodisasi. Kekurangan garam konsumsi nasional tahun 2010 membutuhkan impor sekitar 300.000 ton. Saat ini Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan impor garam hingga dua tahun mendatang, baik untuk kebutuhan konsumsi (beryodium) 1,4 juta ton dan garam industri 1,6 juta ton.

Penerapan larangan impor garam oleh pemerintah tidak sepenuhnya dapat diberlakukan, karena para petani garam rakyat masih belum mampu memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Ada beberapa faktor penghambat, antara lain terbatasnya kepemilikan lahan dalam produksi garam rakyat hanya berkisar 1-5 ha, padahal idealnya minimal 1.000 ha. Selain itu, masih buruknya kualitas garam sebagai dampak pemakaian teknologi yang masih tradisional dan waktu pungut yang singkat sehingga proses kristalisasi menjadi rendah.

Untuk meningkatkan produksi garam nasional, Deperin tengah mempersiapkan program intensifikasi industri garam dalam negeri. Langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah berupa perbaikan dan penyempurnaan saluran dari air laut ke penampungan air laut (reservoir) dan saluran dari reservoir ke lahan penggaraman dan kristalisasi. Di samping itu, perbaikan tanggul-tanggul antar kolam serta pengerasan lahan kristalisasi untuk mempercepat kristalisasi.

Program intensifikasi akan dilaksanakan di seluruh sentra garam, seperti Sampang, Cirebon, dan Rembang. Untuk di sentra produksi Sampang dan Cirebon, Deperin akan bekerja sama dengan PT Garam, sedangkan sentra produksi garam Rembang akan bekerja sama dengan PT Cheetham Salt Indonesia.

Deperin juga akan menekan importasi garam untuk kebutuhan industri, terutama industri CAP, karena saat ini impor garam terbanyak untuk industri CAP. Padahal, hingga saat ini industri garam dalam negeri belum mampu menghasilkan garam yang sesuai dengan spesifikasi industri CAP, yaitu garam yang mengandung NaCl sebanyak 97%. Berdasarkan data Deperin, kebutuhan garam dalam negeri setiap tahun 2,9 juta ton. Dari jumlah itu, kebutuhan untuk industri CAP mencapai 1,56 ton, rumah tangga 693 ribu ton, industri aneka pangan/pembersih 460 ribu ton, pengeboran minyak 125 ribu ton, dan lain-lain sebesar 50 ribu ton.

Selain melakukan program intensifikasi, Depperin juga akan melakukan program ekstensifikasi dan promosi. Ekstensifikasi yang akan dilakukan antara lain pemetaan ulang terhadap lahan produktif maupun nonproduktif serta penyiapan program pengembangan sentra produksi yang potensial. Beberapa daerah potensial akan dikembang untuk sentra industri garam, yakni Rembang, Bima, Sumbawa (NTB), Teluk Kupang, Ngada (NTT), Jeneponto, dan Takalar (Sulsel). Pengembangan lahan garam di antaranya minimal 1.000 ha di Rembang, Jeneponto, dan Bima. Kemudian skala 3.000 hingga 5.000 ha di Bima, Sumbawa, Teluk Kupang, dan Ngada.

Penyebaran lahan pertanian garam di Jatim meliputi Kabupaten Sampang seluas 4.200 ha, Kabupaten Pamekasan 1.868 ha, Kabupaten Sumenep 1.864 ha, Kabupaten Tuban 165 ha, Kabupaten Lamongan 103 ha, dan Kabupaten Gresik 45 ha. Kadar garam di Jatim masih di bawah 80% atau kurang dari standar kadar natrium clorida, seharusnya di atas 95%.

Sementara itu, peredaran garam konsumsi ilegal di Jatim masih belum terkendali. Hingga kini produk garam tak berstandar nasional Indonesia dan garam palsu mampu menggerus pasar garam konsumsi beryodium legal hingga sekitar 30-40%. Maraknya produk garam ilegal di pasar ini secara langsung mengancam produsen maupun konsumen. Dari sisi produsen, keberadaan produk ilegal cukup banyak memakan pasar produk legal, sedangkan bagi konsumen, kualitas dan standardisasi produk garam untuk konsumsi masih diragukan.

Produk garam ilegal ini cenderung memalsu kemasan garam yodium bermerek, mengingat pasarnya yang cukup besar dan sudah banyak dikenal konsumen. Saat ini di Jatim ada sekitar 20 produsen garam konsumsi beryodium yang telah memiliki merek dan ber-SNI. Sebagian besar di antaranya mengeluhkan produknya dipalsukan. Dari sisi harga jual, harga garam ilegal jauh lebih murah sekitar 35% dibanding produk legal. Jika rata-rata harga produk legal Rp20.000/10 kg, maka produk ilegal Rp13.000-14.000/10 kg.

Dengan kenyataan itu, pemerintah diharapkan agar lebih memperketat pengawasan peredaran garam konsumsi beryodium di pasar secara kontinyu. Jika dibiarkan, kondisi itu akan mengancam keberlangsungan produsen garam lokal, selain merugikan konsumen. (AI)

Tidak ada komentar: