Rabu, Januari 27, 2010

Mengevaluasi otonomi daerah

Otonomi daerah (otda) yang seharusnya bisa memacu peningkatan kapasitas rakyat memajukan daerahnya masing-masing, ternyata justru memicu kesenjangan antardaerah dan mengarah pada disintegrasi. Pemekaran wilayah pada kenyataannya tidak sekedar demi alasan efisiensi administrasi pemerintahan yang dinilai terlalu luas, tetapi sering kali juga mengandung kepentingan primordial elit setempat termasuk untuk mendapat kesempatan menjadi pejabat yang berkuasa di daerah baru.

Oleh karena itu, Mendagri Gamawan Fauzi telah menyerahkan rumusan revisi UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ke DPR. Badan Lagislasi DPR juga sudah memasukan agenda revisi UU tersebut ke daftar program legislasi nasional (prolegnas) yang akan segera dibahas. Salah satu materi penting dalam draf revisi UU No.32 itu adalah bahwa sebuah daerah hasil pemekaran tidak langsung ditetapkan sebagai daerah otonom. Daerah baru hasil pemekaran itu harus menjalani tahapan uji coba dengan status sebagai daerah administrasi, baik itu kabupaten administrasi atau pun kota administrasi.

Ketentuan baru ini merupakan bagian dari upaya agar pembentukan daerah otonom baru benar-benar sesuai dengan tujuannya, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan mengenai perlunya evaluasi 205 daerah hasil pemekaran sejak tahun 1999. Perlu diketahui, kabupaten administrasi merupakan kabupaten yang belum mempunyai DPRD, namun sudah memiliki bupati dan wakil bupati yang diangkat oleh gubernur dari kalangan pegawai negeri sipil. Perangkat daerah kabupaten administrasi terdiri atas sekretariat kabupaten administrasi, suku dinas, lembaga teknis lain, kecamatan, dan kelurahan. Saat ini hanya terdapat satu kabupaten administrasi di Indonesia, yakni Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Pengetatan persyaratan pembentukan daerah otonom baru ini diperlukan mengingat sejauh ini laju pemekaran di Indonesia dinilai terlalu cepat. Selama 10 tahun terakhir telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Sehingga, total daerah otonom saat ini 524 yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Pada kenyataannya, daerah-daerah otonom baru tersebut tidak seluruhnya berhasil. Beberapa di antaranya justru menjadi lebih miskin dibandingkan saat sebelum dimekarkan.

Saat ini Depdagri sedang menyusun instrumen penilaian daerah otonom dan menyusun grand strategy pemekaran wilayah di Indonesia. Hasil evaluasi penilaian daerah ditargetkan selesai pada Maret 2010. Sementara itu, penyusunan grand strategy ditargetkan selesai pada Juni 2010. Strategi besar pemekaran ini disusun sebagai dasar untuk menentukan jumlah provinsi, kabupaten, dan kota yang ideal di Indonesia. Saat ini pemerintah fokus untuk menyelesaikan strategi dasar pemekaran, sekaligus mengevaluasi 205 daerah otonom baru.

Pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid mengatakan, grand strategy otda yang telah diterapkan selama 10 tahun perlu diubah. Otonomi khusus secara penuh yang diberikan ke kabupaten/kota perlu dibatasi dan dialihkan ke provinsi. Pada revisi UU Pemerintah Daerah yang baru harus dipertegas bahwa otonomi penuh itu hanya ada di provinsi, sedangkan otonomi yang ada di kabupaten/kota itu adalah otonomi terbatas. Hal ini penting untuk diketahui, karena memahami otonomi daerah tidak bisa hanya dengan membaca undang-undang. Harus ada strategi, prioritas, supervisi monitor, dan pengendalian yang jelas. Hal tersebut tidak terlihat selama 10 tahun terakhir ini.

Pembatasan itu akan lebih efektif bila dibarengi dengan penguatan kewenangan otonomi provinsi. Dengan dilimpahkannya otonomi penuh ke tingkat provinsi, provinsi memiliki kekuatan untuk melakukan pengawasan terhadap perkembangan daerah. Jika memang tidak berjalan dengan benar, dapat dikenakan sanksi. Selain itu, perimbangan kekuatan keuangan daerah dapat lebih terjamin dengan adanya konsolidasi langsung dari provinsi terhadap kabupaten/kota. Maksudnya, apabila ada kabupaten/kota yang miskin dan kesulitan dalam mencari pemasukan, dengan adanya otonomi penuh di tingkat provinsi, seluruh sumber daya yang ada di satu provinsi itu dapat dipertimbangkan secara proporsional.

Peneliti Otonomi Daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Syarif Hidayat menduga adanya mafia pemekaran daerah mengingat banyak pemekaran daerah terjadi karena kolaborasi kepentingan elit politik daerah, pejabat dan pemodal. Banyak pejabat "berstandar ganda". Di lingkup eksekutif dia sebagai pejabat, namun di luar bertindak sebagai konsultan pemekaran. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI harus berani melakukan evaluasi secara transparan terhadap pemekaran daerah. Karena ternyata selama reformasi ini pemekaran itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.

Agar pemekaran tidak terjadi secara sembarangan, maka persyaratannya harus diperketat, yakni dengan memberikan status adminstratif terlebih dahulu dan tidak langsung otonomi daerah. Dengan demikian daerah itu akan teruji kesiapan dan tidaknya untuk menjadi daerah otonom. Kalau siap, maka bisa dimekarkan dan jika tidak, maka akan tetap digabung dengan daerah yang lain. Yang penting, DPD harus mendorong moratorium (penghentian sementara) pemekaran itu dengan mengevaluasi secara menyeluruh terhadap daerah-daerah yang sudah dimekarkan dengan kategori; daerah yang tidak mampu, kurang mampu dan sudah mampu.

Terkait dengan otonomi daerah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak kepada pemerintah untuk menghentikan proses pembangunan jalan di jalur lingkar selatan Jawa. Pasalnya, pembangunan jalan itu bertujuan untuk melancarkan proyek-proyek penambangan sumber daya alam di bagian selatan Pulau Jawa. Jika hal ini dibiarkan, maka alam di daerah tersebut berpotensi semakin rusak.

Pembangunan jalan jalur selatan akan melalui 34 kabupaten dan menghubungkan Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Pembangunan jalur selatan Jawa itu sebagai langkah awal untuk membuka lahan-lahan baru yang ada di selatan Jawa. Para investor tentu ingin agar infrastruktur di Jawa bagian selatan tertata terlebih dahulu sebelum melakukan ekploitasi sumber daya alam. Dampak otonomi daerah justru menumbuhkan penambangan sumber daya alam marak dilakukan mengingat pihak yang memiliki otoritas izin penambangan adalah masing-masing kabupaten/kota maupun provinsi. (AI)

Tidak ada komentar: