Senin, Oktober 04, 2010

Kakao

Indonesia akan menjadi produsen kakao terbesar di dunia pada tahun 2014. Dari data yang tercatat di International Cocoa Organization (ICCO) tahun 2009, Indonesia tercatat sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia dengan produksi mencapai 540.000 ton/tahun atau sebesar 16,2% pangsa pasar dunia. Peringkat pertama masih dipegang Pantai Gading dengan produksi 1,22 juta ton/tahun dengan penguasaan pasar sebesar 38,7%, dan posisi kedua Ghana dengan produksi 680.000 ton/tahun atau 21,6%.

Pada tahun 2011, Indonesia diharapkan sudah masuk dalam ICCO. Saat ini Indonesia sedang mengurus proses keanggotaan dan pemerintah mengalokasikan anggarannya untuk tahun fiskal 2011. Adapun proses keanggotaan Indonesia sudah memasuki tahap ratifikasi standar dan prosedur keanggotaan. Dengan menjadi anggota ICCO, Indonesia bisa lebih berperan di kancah internasional dan memberikan kesempatan dalam menentukan arah perkakaoan di dunia.

ICCO memperkirakan kakao akan mengalami pertumbuhan permintaan hingga 4%. Potensi peningkatan permintaan terhadap kakao dunia tersebut menjadi celah bagi Indonesia untuk menggenjot produksi kakao memenuhi pasar dunia. Pemerintah ingin mendorong ekspor kakao tidak hanya terbatas pada bijih kakao saja, tetapi juga mendorong kakao olahan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut di dalam negeri.

Upaya peningkatan produksi kakao telah dilakukan melalui gerakan nasional (Gernas) Kakao sejak tahun 2009. Gernas Kakao secara otomatis meningkatkan produktivitas hingga dua kali lipat atau lebih, dan baru bisa dilihat hasilnya pada tahun 2012. Gernas Kakao dilakukan dengan penanaman kembali dan perbaikan pembibitan dan penanganan hama. Gernas Kakao diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kebun kakao dari 500 kg/ha/tahun menjadi 1.300 kg/ha/tahun. Penambahan produksi kakao dalam negeri diharapkan dapat meningkatkan kapasitas Indonesia dalam memasok kebutuhan kakao dunia yang setiap tahun naik 2 – 4%.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor biji dan produk kakao Indonesia dari Januari-Juli 2010 mencapai USD977 juta. Ini berarti naik dari periode yang sama pada tahun 2009 yang hanya USD670 juta, atau naik 45%. Nilai ekspor kakao sepanjang tahun 2010 diperkirakan akan meningkat dibanding ekspor tahun 2009 yang mencapai USD1,38 miliar.

Peningkatan ekspor mungkin dapat dicapai karena industri pengolahan kakao nasional mulai pulih. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya menghentikan operasi karena kekurangan bahan baku, kembali berproduksi dengan kapasitas penuh. Sampai akhir tahun 2009, sudah ada enam perusahaan yang memproduksi 150 ribu ton kakao olahan, dan tahun 2010 ini angkanya diperkirakan bergerak menjadi 200 ribu ton. Beberapa perusahaan pengolahan kakao juga sudah merencanakan ekspansi produksi mulai tahun 2011. Sehingga, mulai tahun tersebut produksi kakao olahan diproyeksikan bisa naik sampai 300 ribu ton, atau bisa mengolah hampir 50% dari total produksi biji kakao nasional.

Perkembangan itu merupakan pertanda pertumbuhan industri peningkatan nilai tambah biji kakao dalam negeri, mengingat sebelumnya hampir 80% produksi biji kakao nasional langsung diekspor. Pemulihan industri pengolahan kakao dalam negeri antara lain terjadi karena penerapan bea keluar (BK) biji kakao pada April 2009. Penerapan ketentuan itu terbukti dapat mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao nasional dan menarik masuknya investasi asing pada sektor tersebut.

Sejumlah perusahaan raksasa cokelat siap berekspansi ke Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Mars, Cargill, Olam International, Armajaro, dan Ferrero dari Amsterdam, Belanda. Kedatangan mereka diiringi dengan permintaan agar pemerintah Indonesia memberikan berbagai kemudahan, termasuk insentif fiskal. Perusahaan-perusahaan asing itu membidik investasi di Indonesia karena melihat besarnya potensi pasar cokelat di kawasan Asia. Selain itu, adanya penerapan BK kakao dianggap juga akan menguntungkan industri pengolahan kakao di Indonesia.

Atas permintaan tersebut, pemerintah akan memberikan kemudahan bea masuk (BM) untuk barang modal dan bahan baku industri pengolahan kakao di Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah juga siap memberikan insentif khusus bagi industri kakao. Nantinya, insentif untuk sektor kakao akan disusun bersama insentif untuk sektor minyak sawit mentah (CPO) dan karet. Selama ini, industri pengolahan kakao masih dikenakan pajak penghasilan sebesar 25% dan pajak pertambahan nilai 10%.

Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) menilai, investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor industri kakao karena harga bahan baku kakao lebih murah. Harga kakao di tingkat petani murah karena para eksportir membebankan pembayaran BK kepada petani kakao dengan cara memotong harga pembelian sebesar BK yang berlaku pada bulan tersebut. Tetapi di sisi lain, rencana penambahan investasi asing di sektor industri kakao diperkirakan akan terhadang dengan minimnya infrastruktur, antara lain kondisi transportasi yang mahal dan pasokan listrik masih kurang.

Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menyambut baik rencana pemberian insentif ini. Hanya saja, khusus insentif BM, industri pengolahan kakao sudah tidak membutuhkan lagi. Pasalnya, selama ini impor barang modal termasuk berbagai peralatan untuk industri agro, termasuk kakao sudah dikenakan BM 0%. Sementara, barang yang terkena BM hanyalah bahan baku, yaitu sebesar 5%. AIKI meminta pemerintah tidak mengubah lagi besaran BM bahan baku sehingga biji kakao lokal bisa bersaing dengan barang impor.

Selama ini, industri pengolahan kakao Indonesia hanya membutuhkan biji kakao untuk membuat cokelat bubuk (powder). Coklat bubuk inilah yang kemudian diolah menjadi berbagai jenis makanan dari cokelat. Untuk menghasilkan cokelat bubuk, perusahaan pengolahan menggunakan 70% kakao yang belum difermentasi dan 30% sisanya kakao fermentasi. Kakao fermentasi inilah yang selama ini banyak diimpor. Hal ini disebabkan kebanyakan kakao milik petani belum fermentasi. Jika BM biji kakao dipangkas, maka impor kakao fermentasi bisa jadi akan membanjiri pasar Indonesia. Jika ini terjadi, petani kakao lokal akan tersisih. (AI)

Tidak ada komentar: