Jumat, Februari 06, 2009

Ekspor perikanan terancam

Investasi usaha perikanan tahun 2008 meleset dari sasaran. Nilai investasi swasta nasional yang direncanakan sebesar Rp4,25 triliun hanya terealisasi Rp1,80 triliun. Nilai investasi penanaman modal asing (PMA) yang direncanakan Rp2,50 triliun hanya terealisasi Rp0,71 triliun. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, banyak faktor penyebab tersendatnya investasi usaha perikanan, antara lain lemahnya infrastruktur dan dukungan lintas sektoral, serta izin yang berbelit-belit di daerah.

Di sisi lain terjadi peningkatan produksi dan ekspor perikanan. Produksi perikanan tangkap meningkat dari 5,04 juta ton (2007) menjadi 5,18 juta ton (2008) atau naik 2,78%. Perikanan budi daya meningkat dari 3,19 juta ton (2007) menjadi 3,53 juta ton (2008) atau naik 10,66%. Volume ekspor juga meningkat. Jika pada tahun 2007 mencapai 854.329 ton senilai USD2,25 miliar, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 895.000 ton dengan nilai USD2,56 miliar. Berdasarkan volume, ada kenaikan 4,76%,sedangkan berdasarkan nilai naik 13,33%.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, antara tahun 2007 dan 2008 terjadi kenaikan pada perikanan tangkap yakni dari 2,76 juta orang menjadi 2,78 juta orang. Pada perikanan budi daya, dari 3,84 juta orang naik menjadi 4,21 juta orang, sedangkan di pengolahan dan pemasaran naik dari 0,59 juta orang menjadi 0,64 juta orang. Pada jasa penunjang juga meningkat dari 0,04 juta orang menjadi 0,06 juta orang. Total yang terserap di sektor ini mencapai 7,69 juta orang atau naik 6,36%.

Sebelumnya, untuk tahun 2009 DKP menargetkan produksi perikanan meningkat hingga 50%. Kenaikan target produksi tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan tahun 2007 dan 2008. Kenaikan produksi tersebut didasarkan pada asumsi akan dilakukannya revitalisasi dan juga karena penyerapan pasar di dalam negeri dan pasar ekspor yang cukup besar. Target produksi perikanan tahun 2009 diperkirakan mencapai 12,73 juta ton, sedangkan target untuk ekspor senilai USD2,8 miliar.

Namun krisis yang tengah melanda dunia ini diperkirakan akan mengancam kinerja ekspor hasil perikanan tahun 2009. Realisasi ekspor tahun 2008 sudah tergerus dari target USD2,6 miliar hanya tercapai USD2,5 miliar. Untuk itu, DKP tidak akan menaikkan target ekspor. Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengatakan, diharapkan dengan konsolidasi asosiasi usaha dan kerja keras, target ekspor perikanan tahun 2009 bisa mencapai USD2,6 miliar.

Di samping dampak krisis keuangan global dengan turunnya permintaan di pasar utama terutama AS, UE, dan Jepang, ekspor perikanan juga sedang mendapat ancaman atas tuduhan transhipment oleh otoritas AS terhadap udang Indonesia. Produk di bawah standar mutu dan keamanan ekspor pangan dapat diancam embargo. Pemerintah Indonesia sedang melakukan negosiasi dengan AS agar melepas udang yang ditahan di pelabuhan AS.

Dengan tertekannya pasar ekspor utama, maka ekspor ke Timur Tengah dan Eropa Timur dan Eropa Tengah akan diintensifkan pada tahun 2009. Komoditas yang menjadi andalan adalah udang dengan ukuran lebih kecil (dari 40-50 ekor/kg menjadi 80 ekor atau lebih/kg), ikan patin, ikan nila banding, lobster, dan ikan hias. Secara umum, pada tahun 2008 banyak perbaikan yang dilakukan pemerintah. Antara lain UE mencabut keputusan komisi (CD) Nomor 236/2006 melalui keluarnya CD 660/2008, yakni pengawasan total (systematic border control) di pelabuhan masuk dicabut. Pengawasan total hanya terhadap jenis ikan laut seperti tuna wajib uji laboratorium. Jepang juga menghapus 51 pos tarif bea masuk antara lain untuk produk udang.

Menurut Peneliti Utama Pusat Riset Perikanan Budidaya DKP Fatuchri Sukadi, dampak krisis keuangan sudah mulai terasa di sektor perikanan dalam tiga bulan terakhir. Harga jual produk juga sudah mulai turun, terutama udang. Berdasarkan informasi dari Shrimp Club Indonesia (SCI), ekspor udang ke AS mulai menurun pada November 2008. Pada Desember 2008 tren harga udang mengalami penurunan hingga 8%.

Sementara untuk ekspor ikan nila, setiap bulan sejak bulan September 2008 telah terjadi penurunan baik dari volume maupun nilai jual. Jika pada September 2008 volume ekspor mencapai 3.624.000 kg dengan nilai USD18.62 juta, maka pada Oktober 2008 volume turun menjadi 3.259.321 kg dengan nilai USD15,48 juta, dan pada November 2008 volume ekspor kembali turun menjadi 3.248.046 kg dengan nilai USD15,44 juta.

Ekspor ikan hias pun jika dibandingkan dengan tahun 2007 mengalami penurunan, baik dari volume dan nilai ekspornya. Tidak tersedianya transportasi udara yang layak untuk ekspor ikan hias masih jadi kendala. Sementara untuk ekspor kerapu, telah terjadi penurunan 35% akibat menurunnya aktivitas bisnis restoran di China dan Hongkong sejak Oktober 2008. Penurunan ekspor tersebut juga memicu penurunan harga jual ikan kerapu sebesar 28% dan menurunkan permintaan benih kerapu hingga 85%. Harga kerapu di Riau yang sebelumnya mencapai USD22/kg turun menjadi USD16/kg.

Pemerintah RI telah memperpanjang larangan impor udang jenis vaname ke Indonesia. Larangan impor tersebut merupakan perpanjangan dari larangan sebelumnya yang terbit pada Juni 2008. Larangan yang dituangkan dalam peraturan bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Kelautan dan Perikanan No.SKB 54/M-DAG/12/2008 dan PB.02/MEN/2008 tanggal 24 Desember 2008 berlaku sejak 28 Desember 2008 (SKB lama berakhir tanggal 27 Desember 2008). Larangan impor ini dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya penyakit virus.

Larangan ini memperhatikan masukan Gappindo, SCI, dan hasil monitoring penyakit khususnya virus pada usaha udang vaname. Juga aturan World Trade Organization (WTO) yang menyatakan sepanjang alasan sanitary and phytosanitary (SPS)
seperti penyakit, maka pemberlakuan larangan diperbolehkan. Pelaku usaha pembudidaya dan unit-unit pengolahan juga diharapkan terus memperbaiki mutu produk, daya saing meningkat sehingga konsumen dan pasar domestik lebih banyak membeli udang produksi tambak dalam negeri. Dengan demikian dapat menekan impor hasil perikanan.

Dari Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) juga dilaporkan telah terjadi penurunan ekspor sebesar 40%. Bahkan sudah ada satu permintaan penangguhan pengiriman. Realisasi ekspor September 2008 hingga awal Desember 2008 merupakan tindak lanjut dari kontrak yang telah ada. Ke depannya, ada indikasi mitra impor di luar negeri, khususnya AS, diperkirakan akan melakukan negosiasi ulang kontrak terkait harga dan volume. Dampak nyata dari krisis ini terhadap kinerja ekspor hasil perikanan kemungkinan akan mulai terlihat satu atau dua bulan pada tahun 2009. (AI)


Tidak ada komentar: