Senin, Februari 16, 2009

Sepatu

Pesanan atau pembelian yang tidak kunjung membaik pada awal tahun 2009 menyebabkan industri sepatu mulai mengurangi kapasitas produksi hingga 40%. Akibatnya, pengusaha terpaksa merumahkan pekerjanya. Hingga saat ini, jumlah pekerja yang dirumahkan di industri sepatu sudah mencapai 16.000 orang. Menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko, pengusaha hingga kini belum mau mem-PHK karena khawatir tiba-tiba ordernya masuk lagi dan sulit mencari orang dengan skill yang baik.

Awal tahun 2009 ini, kondisi pesanan sektor usaha sepatu belum normal. Kalaupun ada pesanan, pembeli memesannya sedikit demi sedikit per bulan. Kondisi inilah yang menyulitkan produsen karena tak dapat memprediksi rencana produksi. Dari sini, produsen memutuskan untuk memangkas produksi guna menghindari biaya produksi yang besar.

Selain memberikan pesanan sedikit-sedikit, pembeli juga meminta produsen dalam negeri memberikan diskon harga. Para pembeli menilai, produsen nasional memiliki keuntungan lebih seiring penurunan harga BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah. Terlebih, produsen sepatu di China dan Thailand juga telah menurunkan harga produknya. Berpatokan pada hal ini, para pembeli meminta produsen Indonesia ikut melakukan hal serupa. Jika tak mendapatkan diskon, mereka bakal mengalihkan pesanan ke negara pesaing Indonesia seperti China.

Kinerja ekspor sepatu tahun ini diperkirakan akan turun 10 - 20% dari target sebesar USD1,75 miliar pada tahun 2008. Penurunan ekspor itu bertolak belakang dengan pencapaian ekspor sepatu pada Januari 2008 hingga Oktober 2008 yang naik 15% dibandingkan periode yang sama tahun 2007.

Puluhan perajin di sentra industri sepatu Desa Kemasan dan Ponokawan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur mengeluh atas naiknya harga bahan baku sepatu. Harga bahan baku yang mengalami kenaikan berupa kap (bagian atas) sepatu dan lem. Untuk kap sepatu dari jenis bahan Regia, Sonia, dan Nobuk, yang kebanyakan diimpor dari China dan Korea mengalami kenaikan rata-rata 30 – 40% mengikuti pergerakan nilai tukar dolar.

Saat nilai tukar dolar Rp9 ribu/USD, harga kap sepatu Rp35 ribu/m. Kini harga tersebut naik naik menjadi Rp44 ribu/m. Untuk lem kuning harganya naik dari Rp180 ribu/galon atau seberat 12 kg menjadi Rp300 ribu/galon. Kenaikan tajam terjadi pada lem putih yang mencapai 50% lebih, dari harga semula Rp260 ribu/galon kini menjadi Rp440 ribu/galon.

Produsen sepatu yang berlokasi di Jabar sudah mulai menghentikan kegiatan produksinya. Hal ini terjadi akibat adanya ancaman penghentian order yang dilakukan oleh beberapa pembeli yang meminta penurunan harga. Pembeli yang berniat menghentikan order berasal dari Australia dan Eropa. Pembeli asal Australia tersebut adalah yang memegang merek Cherry dan NG. Mereka meminta harga diturunkan, dari USD10/pasang menjadi USD9/pasang. Menurut Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jabar Max Lukito, sedikitnya ada tiga perusahaan yang terancam berhenti berproduksi. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Daya Tugu Mitra, PT Torch Internasional, dan PT Fortunas.

Total produksi ketiga perusahaan tersebut adalah 63.000 pasang/bulan atau 756.000 pasang/tahun. Nilai ekspor ketiga perusahaan tersebut diperkirakan mencapai USD7,5 juta. Perusahaan tersebut memiliki total karyawan sebanyak 5.000 orang. Jika produksi ini terus berhenti, secara otomatis PHK tidak akan terelakkan lagi.

Di samping itu, industri persepatuan Jabar belum mampu memenuhi pesanan luar negeri akibat tidak adanya standardisasi ukuran sepatu. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu penurunan ekspor alas kaki Jabar tahun 2009 yang diperkirakan mencapai 30%. Sebagian besar industri sepatu Jabar selama ini mendesain sepatu secara manual sehingga ukurannya sering berbeda antara produsen satu dan yang lain meski nomornya sama. Masing-masing pelaku merasa benar dengan standar ukurannya.

Mengantisipasi permasalahan itu, Aprisindo Jabar akan membantu penyediaan desain pola sepatu menggunakan peranti lunak (software) CAD/CAM. Dengan fasilitas ini, desain sepatu bisa dibuat dalam berbagai ukuran sesuai standar internasional dan meningkatkan produksi untuk mengisi pasar dalam negeri yang telah ditata dengan kenaikan bea masuk produk ekspor dan pengetatan pintu masuk di pelabuhan untuk mencegah produk ilegal. Di Jabar hanya ada tiga perusahaan yang menggunakan alat tersebut karena harganya mahal. Satu unit CAD/CAM produksi Korea seharga USD6.500, sedangkan mesin potong seharga USD8.300.

Krisis global memang mulai dirasakan produsen sepatu pada tahun 2009 ini. Sekitar 25 investor sepatu, baik dari dalam maupun luar negeri memutuskan untuk menunda rencana ekspansi. Nilai investasi yang tertunda itu totalnya mencapai USD700 juta. Para investor akan melanjutkan niatan ekspansi hingga kondisi perekonomian membaik. Kalaupun ada yang tetap jalan mendirikan pabrik, pelaksanaannya pelan-pelan tidak seperti rencana semula.

Dari total 120 perusahaan sepatu, ada juga yang berminat berinvestasi sekitar Rp5 miliar/perusahaan. Namun, mereka sulit merealisasikannya lantaran kesulitan arus kas. Ditambah lagi, pengusaha harus membeli bahan baku secara tunai. Demikian pula dengan penerbitan surat jaminan kredit (letter of credit atau L/C) untuk ekspor yang harus dibayar penuh. Kondisi ini membuat perusahaan sepatu lokal kebingungan.

Berdasarkan data Depperin yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perusahaan yang berinvestasi di sektor alas kaki itu antara lain berasal dari China, Korea Selatan, dan Taiwan. PMA yang mendapat izin prinsip antara lain PT Bu Kyung Indonesia (PMA Korea Selatan) dengan nilai investasi USD10 juta yang merealisasikan pabrik baru dengan kapasitas 3,5 juta pasang sepatu/tahun. PT Shoe Link Shoes Indonesia berencana membangun pabrik baru senilai USD3,5 juta dengan kapasitas 3 juta pasang/tahun. PT Ka Yuen Indonesia berencana membangun pabrik baru USD2,9 juta dengan kapasitas produksi 12,2 juta pasang/tahun.

Sedangkan perusahaan sepatu PMDN yang berencana membangun pabrik baru pada tahun 2009 adalah PT Simko Prima Mandiri dengan nilai investasi Rp22 miliar. Pabrik baru itu direncanakan berkapasitas produksi 3 juta pasang/tahun. Sementara itu, perusahaan PMA yang berencana melakukan ekspansi antara lain PT Sepatu Mas Idaman yang akan menambah kapasitas produksi 870.000 pasang/tahun dengan investasi Rp66 miliar. (AI)


Tidak ada komentar: