Rabu, Februari 04, 2009

Subsidi obat generik

Depkes akan mengadakan program pengadaan Obat Generik Bersubsidi (OGS) pada tahun 2009 ini. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis global yang diperkirakan akan berlanjut menjadi resesi ekonomi. Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, program ini sekaligus memberdayakan industri farmasi dalam negeri yang telah mampu memproduksi obat-obatan bertaraf internasional dan industri farmasi menengah ke bawah yang juga harus dibantu untuk ambil peran dalam pemenuhan kebutuhan obat dalam negeri.

Dalam program itu, obat-obatan yang dilindungi adalah obat-obatan paling dibutuhkan masyarakat (fast moving) dan obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa (life saving). Subsidi juga diberikan bagi obat esensial, obat program kesehatan, dan obat yang tak bernilai ekonomis tetapi sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan.

Pengadaan OGS ini sudah dianggarkan dalam APBN 2009 sebesar Rp280 miliar dengan skema perincian ditentukan oleh Depkes. Menkes menghimbau agar semua apotik di Indonesia menyediakan OGS. Tujuannya, Depkes ingin menjamin ketersediaan dan pemerataan obat di seluruh Indonesia sekaligus menstabilkan harga obat generik atau obat bermerek meskipun terjadi fluktuasi dolar pada tahun 2009.

Selain obat bersubsidi, pemerintah juga akan melanjutkan program Apotek Rakyat. Selama tahun 2008, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) telah memberikan sertifikasi sebanyak 18.000 apoteker untuk persiapan menjalankan program apotek rakyat yang sudah dicanangkan Depkes tahun lalu. Pada tahun 2009 akan diresmikan 100 buah apotik rakyat dengan dukungan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari perbankan di 5 provinsi, yakni DKI Jakarta, Bali, Yogyakarta, Jatim, dan Sumatra Utara. Diharapkan dengan adanya apotek rakyat ini akan meningkatkan keterjangkauan obat pada masyarakat lebih luas lagi.

Menkes juga menegaskan tidak akan menaikkan harga obat generik. Pernyataan Menkes ini menindaklanjuti desakan BUMN yang bergerak di bidang farmasi kepada Pemerintah agar menaikkan harga jual obat generik. Obat generik yang diproduksi mulai Januari 2009 menggunakan kurs Rp9.000/USD, sedangkan kurs saat ini sudah mencapai lebih dari Rp11.000/USD. Selisih kurs ini diharapkan ditanggung Depkes melalui subsidi. Hal ini penting bagi BUMN, mengingat dua BUMN yang memproduksi obat generik, yakni Indo Farma (menguasai 80% pasar obat generik) dan Kimia Farma (60%), mengandalkan 80% bahan bakunya dari impor.

Sebelumnya diberitakan bahwa kenaikan harga bahan baku, melemahnya rupiah, dan naiknya suku bunga perbankan membuat perusahaan BUMN farmasi terancam kolaps. Untuk mencegah itu, BUMN farmasi akan menaikkan harga obat generik. Kenaikan harga obat generik terakhir terjadi pada tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kesehatan No.1112/ Menkes/SK/VII/2003. Kenaikan itu disebabkan kenaikan beberapa komponen biaya struktur produksi, antara lain, harga bahan baku, kemasan, dan overhead atau biaya operasional.

Dari perhitungan BUMN farmasi, kebutuhan subsidi mencapai Rp300 miliar. Angka itu dihitung dari kebutuhan bahan baku obat yang masih impor sebesar USD10 juta dikalikan selisih dolar. Subsidi seperti ini pernah dilakukan pada tahun 1998 sebesar Rp5.000 saat kurs USD mencapai Rp15 ribu. Pada tahun 2008 kerugian BUMN farmasi hanya diperoleh dari selisih kurs dolar. Kerugian Kimia Farma akibat selisih kurs mencapai Rp3 miliar, dan Indo Farma Rp17 miliar.

Menurut Direktur Utama Kimia Farma Syamsul Arifin, perusahaan bukannya tidak mau memproduksi obat, namun tidak memiliki dana cash untuk membeli bahan baku. Bagaimanapun, produksi obat tidak mungkin dikurangi. Selain karena akan mengalami kerugian dari sisi pabrik, masyarakat pun membutuhkan obat generik yang manfaatnya sama, namun harganya sangat miring. Obat generik adalah obat yang khasiatnya sama persis seperti obat paten dengan komposisi yang serupa.

Dari 200 item obat generik yang diproduksi Kimia Farma, ada 50 item yang minus. Walaupun ada yang minus, secara total Kimia Farma masih meraup untung berkisar Rp57 miliar - Rp60 miliar pada tahun 2008 dari omzet Rp2,6 triliun. Keuntungan diperoleh dari apotek, klinik, dan ekspor alat kesehatan yang dikelola Kimia Farma.

Direktur Produksi PT Indofarma Yuliarti Merati menyambut baik subsidi bahan baku obat generik. Pasalnya, bila harus membeli bahan baku dengan harga saat ini sementara harga obat tetap, maka perusahaan akan merugi. Saat ini Indofarma memiliki stok bahan baku dengan harga lama, yakni dengna nilai tukar rupiah Rp9.200/USD, hingga Februari 2009.

Dari Jayapura diberitakan, sesuai dengan peraturan Depkes apotek-apotek di Jayapura menyediakan obat generik dengan cukup. Selain mengawasi jenis obat yang diperdagangkan, BPOM juga ikut mengawasi harga eceran yang ditetapkan oleh para penjual. Untuk masalah ini, di wilayah Papua, harga eceran tertinggi (HET) tidak dapat dipenuhi oleh para pemilik bisnis penjualan obat.

Untuk instansi pemerintah, ketentuan HET harus dipatuhi. Tapi untuk beberapa usaha individu, ketentuan HET tidak bisa disamakan, mengingat ada pertimbangan biaya pengiriman dan transportasi dari produsen sampai ke Papua yang cukup mahal.
Namun sejauh ini, harga yang ditentukan oleh para penjual masih dalam taraf kewajaran dan tetap dapat dijangkau oleh masyarakat Jayapura.

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi yang juga Ketua Panitia Ad Hoc IV Dewan Perwakilan daerah (DPD) Anthony Ch Sunarjo menegaskan, subsidi obat generik senilai Rp280 miliar cenderung berbau politis. Pasalnya, isu obat merupakan isu yang populer, sehingga meskipun harga bahan baku naik dan nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, pemerintah berupaya menurunkan harga obat generik.

Lies Sugeng dari Lembaga Bantuan Hukum Konsumen (LBHK) mengatakan, keputusan Depkes menurunkan harga obat generik di pasaran melalui subsidi bahan baku obat merupakan kabar positif dan perlu disambut baik oleh masyarakat. Namun, diharapkan kebijakan ini tidak hanya bersifat ad hoc dan menjadikannya isu populis untuk kepentingan politik, tapi benar-benar menjadi solusi kesehatan bagi masyarakat secara berkesinambungan.

Masalah lainnya adalah bagaimana pengawasan kebijakan tersebut di lapangan, apakah disertai aturan atau koordinasi pengawasan yang baik dengan pihak-pihak terkait. Karena, tidak menutup kemungkinan pelayanan di lapangan justru jauh dari harapan dan mengecewakan masyarakat. (AI)

Tidak ada komentar: