Jumat, Juli 02, 2010

Industri farmasi di bawah Kemenperin

Pemerintah mulai berbenah untuk meningkatkan kinerja industri farmasi yang selama ini masih sangat tergantung pada bahan baku dan produk impor. Untuk itu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menawarkan kerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menangani industri farmasi. Selama ini industri farmasi belum masuk dalam perhitungan pertumbuhan sektor industri karena selama ini industri farmasi ditangani oleh Kemenkes. Jadi, nantinya sektor industr farmasi ditangani oleh Kemenperin, sedangkan aturannya dilakukan oleh Kemenkes.

Kemenperin akan menyiapkan sejumlah program untuk meningkatkan sektor industri kesehatan, misalnya bagaimana mengurangi ketergantungan kebutuhan bahan baku impor dan membuat industri pendukungnya berjalan. Selain itu juga melakukan kerja sama dengan Kemenkes misalnya membuat produksi obat murah (generik). Langkah yang akan ditempuh Kemenperin dimulai dari pembinaan industri, pendirian industri bahan baku dan sektor pendukungnya, mengintensifkan pabrik-pabrik modern yang telah eksis sehingga mampu memproduksi obat-obat generik lebih banyak, hingga penguatan industri agar mampu memproduksi untuk pasar lokal dan ekspor.

Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi) mengatakan, rencana sinergi antara Kemenperin dan Kemenkes dalam memperkuat industri farmasi nasional seyogiayanya berada di bawah koordinasi dan pembinaan oleh wakil presiden. Keterlibatan Wapres dalam sinergi antar kedua kementerian itu dinilai sangat penting supaya ada pihak yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Wapres bisa menjadi penengah jika dalam perjalanan sinergi tersebut terjadi benturan kepentingan di antara keduanya.

Yang dibutuhkan dalam sinergi ini adalah adanya fungsi koordinasi visi. Pasalnya, farmasi merupakan industri strategis dan memiliki tujuan untuk mewujudkan ketahanan nasional. Yang lebih penting, bidang yang akan disinergikan adalah bahan baku obat, suatu industri yang sangat spesifik dan membutuhkan penanganan yang serius dan terpadu. Sinergi ini dibutuhkan mengingat bahan baku obat sangat bergantung pada industri kimia dasar yang berada di bawah binaan Kemenperin. Selama ini industri kimia dasar baru mampu menghasilkan bahan baku yang memiliki standar teknis, dan belum berstandar farmasi.

Produk obat-obatan bukan komoditas biasa. Obat tidak bisa disamakan dengan produk industri lainnya. Obat menyangkut nyawa manusia. Oleh karena itu, cara pandang pemerintah terhadap industri farmasi harus diubah. Pemerintah harus mengambil inisiatif untuk membuka paradigm baru industri farmasi. Pemerintah harus sadar bahwa dalam 10 tahun ke depan pasar obat-obatan di Tanah Air akan mencapai angka Rp400 triliun. Oleh karena itu, industri bahan baku obat harus dikembangkan dengan serius. Bahan baku obat ini nantinya tidak hanya untuk kebutuhan industri dalam negeri, tapi juga harus bisa diekspor ke manca negara.

Menurut International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), industri farmasi di Tanah Air membutuhkan institusi yang berperan sebagai “orang tua” yang mampu membina dan mengawasi aspek produksi (manufacturing). Selama ini Kemenkes lebih terfokus pada aspek pelayanan kesehatan secara umum, dan distribusi obat serta pengaturan harganya. Sementara aspek teknis seperti masalah produksi, teknologi kefarmasian, dan dukungan menggalang investasi, kurang mendapat perhatian dari Kemenkes. Kalau pun ada keterlibatan, hanya terbatas soal CPOB (cara pembuatan obat yang baik), dan hal itu hanya bersifat regulasi, bukan dalam bentuk pembinaan teknis.

Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) menanggapi positif rencana Kemenperin dan Kemenkes yang ingin melakukan sinergi untuk mendorong perkembangan industri farmasi. Selama ini tingkat ketergantungan bahan baku impor untuk industri farmasi masih sangat tinggi. Untuk mengurangi ketergantungan impor ini diperlukan pengembangan industri kimia dasar sehingga bisa memproduksi bahan baku sendiri. Selain Kemenperin, GP Jamu berharap ke depan industri farmasi juga mendapatkan dukungan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Untuk melakukan pengembangan industri farmasi ini, Kemenperin juga akan menggandeng Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terutama untuk kepentingan penanaman modal di bidang industri farmasi. Saat ini minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia relatif rendah. Kondisi tersebut terlihat dari rendahnya pangsa pasar perusahaan farmasi asing yang hanya 30% dari total pasar produk farmasi di Tanah Air. Nilai pangsa pasar perusahaan farmasi asing saat ini hanya sekitar Rp10 triliun, atau 30% dari total pasar produk farmasi di Tanah Air yang mencapai Rp33 triliun. Sebagian besar pangsa pasar, yakni 70% masih dikuasai perusahaan farmasi lokal dengan nilai Rp23 triliun.

Rendahnya pangsa pasar perusahaan farmasi asing itu disebabkan oleh iklim investasi yang kurang kondusif sehingga investor kurang tertarik menambah dana investasinya. Regulasi di bidang farmasi terlalu banyak (high regulated) dan cenderung menghambat perkembangan sektor industri tersebut. Beberapa regulasi yang dinilai menghambat perkembangan industri farmasi nasional antara lain Permenkes No.1010/2008 tentang Registrasi Obat, Permendag No.45/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API), dan Perpres No.111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) yang membatasi kepemilikan saham asing maksimal 75%.

Produsen farmasi asing meminta sektor farmasi dikeluarkan dari Daftar Negatif Investasi (DNI) dan dijadikan industri terbuka. Pasalnya, produsen merasa kesulitan mencari partner farmasi di Indonesia. Sulitnya mencari mitra juga terjadi karena industri farmasi di Indonesia saat ini telah memiliki pabrik sendiri. Menperin MS Hidayat menyatakan mendukung sikap produsen farmasi asing yang meminta sektor tersebut menjadi industri terbuka untuk investor asing, dengan pertimbangan industri farmasi merupakan industri komersial. (AI)

Tidak ada komentar: