Jumat, Juni 25, 2010

Harga RSh menjelang tanggal 1 Juli 2010

Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) memperkirakan Indonesia mengalami kekurangan pasokan rumah hunian hingga sembilan juta unit. Kekurangan pasokan rumah ini disebabkan karena tidak seimbangnya antara pembangunan perumahan dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal saat ini cukup tinggi karena selain memang tingginya kebutuhan rumah, juga didorong oleh banyaknya rumah yang rusak akibat bencana alam sehingga mengurangi jumlah rumah.

Pemerintah mengakui hingga saat ini belum memiliki instrumen untuk memproduksi rumah. Akibatnya, pasokan rumah masih bergantung pada kesediaan pengembang dalam membangun perumahan. Dengan adanya instrumen produksi rumah, diharapkan pemerintah bisa menyediakan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Masalah itupun belum bisa diatasi karena pengembang perumahan selama ini hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan yang ada. Setiap tahun pertumbuhan kebutuhan rumah sederhana sehat (RSh) sebanyak 800 ribu unit, sedangkan industri properti hanya sanggup membangun 200-300 ribu unit.

Untuk menjangkau seluruh masyarakat agar mendapatkan rumah, pemerintah telah mengubah pola subsidi. Saat ini diperkenalkan pola subsidi baru berupa fasilitas likuiditas yang merupakan terobosan untuk mengganti pola subsidi perumahan yang lama, yakni subsidi selisih bunga atau subsidi uang muka yang sebelumnya berjalan. Penerapan pola subsidi baru ini berlaku mulai 1 Juli 2010. Karena itu, selama masa transisi sebelum pelaksanaan konsep fasilitas likuiditas, pemerintah masih menganggarkan dana untuk menyelesaikan tunggakan subsidi selisih bunga atau uang muka yang sebelumnya diterapkan.

Kedua pola tersebut, baik fasilitas likuiditas maupun subsidi selisih bunga, mendapatkan alokasi anggaran pada APBNP 2010 sebesar Rp3,1 triliun. Untuk fasilitas subsidi bunga mendapat Rp416 miliar, sisanya untuk fasilitas likuiditas. Fasilitas likuiditas mendapat dana dari pos pembiayaan, sedangkan subsidi selisih bunga pada pos belanja. Anggaran Rp416 miliar yang dialokasikan untuk subsidi selisih bunga itu akan digunakan untuk membayar tunggakan subsidi yang belum dibayarkan pada tahun 2008, 2009, dan 2010 karena masalah verifikasi.

Berdasarkan simulasi Kemenpera, menjelang penerapan fasilitas likuiditas pembiayaan RSh bersubsidi pada tanggal 1 Juli 2010, harga maksimum RSh bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan Rp2,5 juta/bulan akan naik menjadi maksimal Rp94 juta/unit, sedangkan harga maksimal RSh yang berlaku saat ini adalah Rp55 juta/unit. Sementara harga satuan rusunami bagi masyarakat berpenghasilan Rp4,5 juta/bulan diusulkan menjadi maksimal Rp190,4 juta/unit, sedangkan pagu maksimal yang berlaku saat ini Rp144 juta/unit. Namun patokan harga maksimal tersebut belum final karena masih menunggu persetujuan bersama dengan Kementerian Keuangan.

Meski harga hunian menjadi lebih mahal, namun masyarakat tak perlu cemas. Besarnya angsuran RSh dan rusunami tetap terjangkau. Pasalnya, sebagian cicilan bakal ditanggung negara. Bentuknya berupa subsidi pembayaran bunga sepanjang tenor atau masa angsuran. Dengan bunga rendah sepanjang tenor, jaminan keberlanjutan pembayaran kredit menjadi lebih terjaga.

Menpera menjamin perubahan skema subsidi kepemilikan RSh akan lebih menguntungkan bagi masyarakat karena subsidi yang dialihkan pada fasilitas likuiditas ini tidak menguap seperti subsidi yang sebelumnya, tetapi mengendap menjadi investasi untuk pembangunan perumahan murah pada masa datang. Dengan pola baru, suku bunga KPR bisa dipatok 7%-9% selama masa angsuran sehingga beban konsumen stabil. Sementara dengan pola lama berupa selisih bunga, subsidi hanya diberikan selama 4 -6 tahun.

Akan tetapi, rencana penerapan fasilitas likuiditas per 1 Juli 2010 nanti untuk subsidi RSh disangsikan pengembang. Bahkan, simulasi harga menjadi Rp94 juta/unit menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memicu potential lost hingga 20% dari saat ini. Masyarakat yang telah memiliki dana sebesar Rp55 juta akan berpikir ulang untuk membeli rumah.

Terkait simulasi skema baru pemerintah yang menyatakan harga RSh akan naik hampir dua kali lipat menjadi Rp94 juta dari sebelumnya Rp55 juta/unit, pengembang juga menyangsikannya. Penerapan fasilitas likuiditas tidak serta-merta akan menaikkan harga jual RSh, namun justru berpotensi menurunkan biaya produksi yang ditanggung pengembang. Hal lini disebabkan penerapan fasilitas likuiditas akan menurunkan bunga bank termasuk kredit properti modal kerja bagi pengembang.

Sebagian pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) masih ragu menjual dan membangun RSh bersubsidi akibat belum ada kepastian perubahan pola subsidi yang akan diterapkan mulai 1 Juli tahun 2010. Akibatnya, penjualan RSh hingga awal semester I/2010 oleh anggota asosiasi itu tidak sesuai target awal. Atas perubahan kebijakan ini, pengembang mulai mengkaji ulang target-target pembangunan RSh.

Kalangan pengembang mengusulkan kepada Kemenpera dan perbankan agar mengurangi besaran uang muka untuk pembelian RSh bersubsidi dari 10% menjadi 3%-5%. Menurut Apersi, perubahan pola penyaluran subsidi rumah dari selisih bunga menjadi fasilitas likuiditas perlu diikuti dengan kebijakan pengurangan uang muka agar program baru Kemenpera itu berjalan efektif. Pasalnya, selama ini masalah di lapangan adalah uang muka. Banyak konsumen yang kesulitan menyediakan uang muka sehingga menunda pembelian.

Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah pembangunan rumah, Kemenpera akan membebaskan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) untuk RSh, baik yang dilakukan pengembang maupun masyarakat. Selain pembebasan IMB, pemerintah juga akan memberikan insentif khusus kepada masyarakat yang memiliki rumah. Salah satunya adalah dengan memberikan diskon khusus dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), yakni masyarakat yang memiliki rumah tidak perlu membayar PBB sebesar 100% jika rumah yang dibeli tidak dijual dulu selama tiga hingga lima tahun ke depan. (AI)

Tidak ada komentar: