Senin, Juni 21, 2010

Kakao

Menurut Kementerian Pertanian, komoditas kakao memberikan sumbangan devisa nasional sebesar USD1,4 miliar/tahun. Nilai tersebut diperoleh dari total lahan seluas 1,4 juta ha. Produksi tahun 2009 mencapai 800 ribu ton dan sekitar 93% berasal dari perkebunan rakyat. Angka tersebut menempatkan kakao sebagai komoditas unggulan ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet.

Permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan kakao adalah penurunan tingkat produktivitas akibat tanaman tua, penyakit, hama, dan rendahnya mutu biji kakao. Langkah-langkah yang dilakukan untuk kembali meningkatkan produksi kakao adalah dengan meningkatkan kapasitas petani, penyediaan bibit unggul, revitalisasi perkebunan kakao melalui kredit perbankan dengan bunga yang disubsidi pemerintah.

Peremajaan tanaman yang dilakukan sepanjang tahun 2009 mencapai 80,27% dari 20 juta pohon yang ditargetkan, kemudian rehabilitasi 19%, dan intensifikasi 100%. Serangan hama pada 450 ribu ha menyebabkan menurunnya produksi secara bertahap, mulai dari 600 kg/ha/tahun hingga 400 kg/ha/tahun. Padahal sejak tahun 2003 produksi kakao nasional mencapai 1,1 juta ton.

Sementara itu, pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bea keluar (BK) kakao setelah berjalan enam bulan atau pada Oktober 2010, untuk mengetahui efektivitas dari penerapannya. Jika ternyata penjualan ekspor produk kakao terus menurun dan industri pengolahan tidak berkembang, kebijakan itu akan direvisi.

Sebelumnya, pemerintah menerapkan BK biji kakao mulai April 2010 lalu. Untuk itu, setiap pengapalan biji kakao dikenakan BK sebesar 10%. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, disebutkan apabila harga biji kakao di pasar dunia kurang dari USD2,000/ton, maka tidak akan dikenakan BK. Pada saat harga kakao mencapai USD2.000-USD2,750/ton, akan dikenakan BK 5%. Saat harga biji kakao mencapai USD2,750 hingga USD3,500/ton, akan dikenakan BK 10%, dan harga di atas USD3,500/ton akan dikenakan BK 15%.

Dasar penerapan kebijakan BK tersebut, karena pemerintah melihat Malaysia dan Singapura memiliki kapasitas pabrik pengolahan kakao sebesar 480.000 ton/tahun. Kedua negara itu mengimpor biji kakao asal Indonesia. Singapura dan Malaysia menerapkan bea masuk (BM) biji kakao 0% dan menerapkan harga kakao olahan sangat tinggi. Untuk “membalas” kebijakan negara tersebut, maka Indonesia mengenakan BK untuk mengerem pengapalan biji kakao, sehingga produk itu akan menjadi lebih mahal di luar negeri.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, volume ekspor kakao pada April 2010 turun 67,79%, dari sekitar 50.090 ton menjadi 16.133 ton. Penurunan volume ini juga berdampak pada total nilai ekspor kakao, dari USD148 juta menjadi USD53,6 juta, sehingga terjadi penurunan sebesar 63,79%. Sepanjang Januari-April 2010, nilai ekspor kakao tercatat mencapai USD455 juta, sedangkan pada periode yang sama tahun 2009, nilai ekspor USD338 juta. Dari segi volume, ekspor kakao sepanjang Januari-April 2010 tercatat sebesar 148.711 ton, sedangkan pada periode yang sama tahun 2009 mencapai 135.786 ton.

Menurut Forum Kakao Aceh (FKA), harga biji kakao kualitas ekspor di tingkat petani di provinsi Aceh turun hingga 10,40%, menyusul diberlakukannya BK terhadap komoditas tersebut. Harga biji kakao turun, dari Rp24.000/kg menjadi Rp21.500/kg. Kebijakan tersebut merugikan para petani kakao, karena secara langsung ikut berpengaruh terhadap harga sehingga mengurangi pendapatan petani. Para pengusaha tidak mungkin menanggung sendiri BK, sehingga dengan terpaksa mereka membebankan kepada para petani dengan menurunkan harga.

Namun demikian, adanya kebijakan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap animo masyarakat Aceh untuk mengembangkan tanaman kakao. Masyarakat Aceh masih bergairah untuk merawat dan mengembangkan tanaman kakao, karena harganya dinilai masih layak. Diharapkan ke depannya, kakao akan menjadi komoditi ekspor andalan daerah. Hanya saja, pemda diharapkan membantu petani, misalnya dengan menyediakan subsidi pupuk dan bibit, sehingga menghasilkan biji kakao berkualitas ekspor.

Sementara itu, belum genap tiga bulan kebijakan BK kakao diberlakukan, imbas positif terhadap kebijakan ini sudah mulai terlihat. Kementerian Perindustrian telah mendapatkan indikasi investasi baru di bidang pengolahan industri kakao yang sebelumnya lesu karena sulitnya bahan baku kakao. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) mencatat selama kurang lebih dua bulan terakhir telah ada enam pabrik kakao yang kembali berproduksi yang sebelumnya mati suri. Saat ini hanya 11 pabrik yang beroperasi termasuk enam pabrik tadi dari total 15 pabrik pengolahan kakao yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, Pemprov Sulawesi Barat akan membangun pabrik pengolahan kakao di daerah Kelurahan Rangas, Kecamatan Simboro, sekitar 5 km dari kota Mamuju. Pemprov Sulbar telah menyiapkan lahan pembangunan pabrik pengolahan kakao seluas kurang lebih dua hektare. pembangunan pabrik pengelolaan kakao tahap pertama tersebut menggunakan pos pembiayaan dari pemerintah pusat melalui APBN tahun anggaran 2010 sebesar, Rp1,3 miliar. Saat ini proses lelang proyek pembangunan pabrik kakao sudah mulai berjalan, dan rekanan yang memenangkan proses lelang itu akan memulai pekerjaan pada tahun 2010 ini.

Setelah pembangunan selesai, pemprov Sulbar akan mendatangkan mesin pengolahan kakao dari kota Surabaya, Jawa Timur. Kapasitas mesin tersebut akan mampu mengolah kakao sedikitnya satu ton per jam. Pabrik ini sangat dibutuhkan rakyat, apalagi sekitar 60% penduduk di Sulbar menggantungkan hidupnya dari kakao. Pembangunan pabrik pengolahan kakao ini sebagai bagian dari implementasi dari program gerakan peningkatan produksi dan mutu kakao (Gernas Kakao).

Pada tahun 2010, Kementan menargetkan Gernas Kakao mencapai 145.000 ha. Gernas Kakao ini akan ditunjang dengan perluasan area perkebunan yang secara keseluruhan mencapai 6,3% atau menjadi 20.791,78 juta ha pada tahun 2010. Dari total tersebut, luas kakao yang pada tahun 2009 sebesar 1.592,98 juta ha akan meningkat menjadi 1.655,13 juta ha atau naik sebesar 3,9%. (AI)

Tidak ada komentar: