Jumat, Juni 18, 2010

SNI sebagai modal untuk pasar global

Indonesia diperkirakan akan menghadapi tantangan utama tentang standardisasi produk dalam menuju kesepakatan kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) pada tahun 2015. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan Indonesia dalam memenuhi Harmonisasi Standar Produk Elektronika dan Listrik ASEAN atau ASEAN Harmonized Electrical and Electronic Equipment Regulatory Regime (AHEEERR) yang mulai diterapkan mulai tahun 2011. Saat ini waktu yang tersisa menuju implementasi AHEEERR tinggal 10 bulan.

Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan dari 199 standar elektronika dan listrik yang disepakati untuk diharmonisasikan di tingkat ASEAN, Indonesia baru memenuhi 19 standar, sedangkan 10 standar lagi menyusul dinotifikasikan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Harmonisasi standar ini secara ekonomi dapat merugikan Indonesia. Pasalnya, dilihat dari besarnya pasar, Indonesia memiliki pasar yang besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya, sehingga produk-produk dari negara lain berupaya masuk ke Indonesia tanpa hambatan nontarif seperti standar. Bandingkan dengan pemenuhan harmonisasi standar di Malaysia yang mencapai 156 produk, Thailand sebanyak 56 produk, Singapura 34 produk, dan Vietnam mengungguli Indonesia dengan 20 produk. Sementara Filipina, Brunei, dan Kamboja masing-masing sembilan, tujuh, dan tiga produk.

Saat ini semua transaksi perdagangan menggunakan standar sebagai salah satu faktor utamanya sehingga menjadi bahasa kedua setelah harga. Standar sangat dibutuhkan dalam setiap transaksi karena dengan standar para pelaku perdagangan dapat secara cepat mengetahui kualitas dan mutu produk tersebut. Indonesia terus berupaya untuk memperbanyak Standar Nasional Indonesia (SNI) yang harmonis dengan standar internasional sehingga kedepan semua produk yang memiliki tanda SNI akan diterima oleh pasar global.

Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN China (ACFTA) Badan Standardisasi Nasional (BSN) akan memfokuskan SNI untuk sepuluh sektor industri yang perdagangan dengan China tinggi. SNI merupakan senjata untuk menahan laju impor produk-produk dari China yang kebanyakan kualitasnya di bawah standar. Sektor industri yang dipilih dinilai memiliki nilai ekspor atau impor minimal USD100 juta. Kesepuluh sektor industri ini adalah baja, aliuminium, elektronik dan kelistrikan, petrokimia, mesin dan perkakas, hasil pertanian, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan mainan anak. Saat ini jumlah SNI untuk kesepuluh industri tersebut tercatat 1491 SNI. Dari jumlah itu, SNI untuk sektor makanan dan minuman paling banyak, yaitu sebanyak 440 SNI dan sektor TPT sebanyak 266 SNI.

Selain itu, untuk menyesuaikan standar kualitas produk dalam negeri dengan produk ASEAN, BSN juga bekerja sama dengan negara ASEAN terkait dengan standardisasi produk. Saat ini sudah ada 8 sektor industri yang akan dilakukan harmonisasi standar dengan negara ASEAN, yaitu sektor elektronik, otomotif, makanan olahan, peralatan medis, produk karet, dan produk perikanan. Untuk tahun 2011, BSN menargetkan 250 SNI baru terhadap produk dengan mengajukan anggaran Rp82,5 miliar. Anggaran tersebut akan digunakan ke dalam tiga kelompok yakni untuk dukungan manajemen tugas teknis, peningkatan sarana dan prasarana aparatur BSN, serta pengembangan standardisasi nasional.

Kendala Indonesia memenuhi harmonisasi standar itu adalah keterbatasan infrastruktur yakni laboratorium penguji standar yang sanggup memenuhi standar. Untuk mewajibkan suatu standar dibutuhkan ketersediaan infrastruktur laboratorium. Saat ini, lembaga sertifikasi atau balai pengujian yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Padahal produk industri tidak hanya berada di Pulau Jawa.

Pemerintah terus mendorong penyesuaian standar suatu produk nasional terhadap standar internasional untuk menghadapi perubahan perilaku barang dan pola konsumsi dunia saat ini. Standardisasi semakin penting dalam menghadapi persaingan global karena permintaan terhadap suatu produk cenderung mengacu pada standar produk itu.

Langkah penyesuaian standar mutlak dilakukan guna mendukung upaya perluasan dan diversifikasi produk di pasar global. Pasalnya, tanpa penyesuaian standar, target peningkatan ekspor melalui perluasan dan diversifikasi produk justru akan terhambat. Dalam memenuhi permintaan konsumen global, harmonisasi standar yang dilakukan tetap harus memperhatikan karakter konsumen dan pengguna produk di masing-masing negara. Masalah standar ini justru sering terabaikan dalam perdagangan antarnegara. Namun, tidak sedikit pihak yang justru menggunakan isu standar tersebut untuk melakukan hambatan dagang terhadap suatu negara.

Menurut Kadin Indonesia, ada proses-proses yang harus dilalui menuju kepada pemenuhan standar internasional, yakni bagaimana memenuhi standar nasional di dalam negeri sendiri dan kesiapan industri domestik. Dan yang harus dilakukan saat ini adalah upaya memenuhi standar nasional terlebih dahulu, baru kemudian mengarah ke standar internasional. Jika Indonesia hendak membuat suatu standar tetap harus mengacu pada kesepakatan yang diteken dalam Mutual Recognition Arrangements (MRAs) dan berbagai standar itu tidak boleh bertentangan dengan WTO.

Dari dalam negeri, pemerintah didesak untuk mempublikasikan daftar merek produk yang tidak sesuai SNI. Dengan adanya daftar tersebut, dapat memudahkan pengusaha ritel melakukan pengawasan. Selama ini informasi yang disampaikan pemerintah hanya berupa data dari produk-produk yang sudah memiliki SNI. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sudah meminta kepada anggotanya agar tidak mengedarkan produk-produk yang diduga tak sesuai standar. Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag akan menindaklanjuti permintaan tersebut, yakni dengan menyampaikan merek-merek yang tidak sesuai SNI melalui media. Namun di samping itu, pengusaha ritel juga harus memperhatikan pemasok dan tanda SNI pada produknya. (AI)

Tidak ada komentar: