Jumat, Juni 04, 2010

Mewaspadai serbuan obat China

Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan, industri farmasi di Indonesia masih tetap terjangkit penyakit rent seeking. Pernyataaan ini menanggapi masih mahalnya harga obat di Indonesia. Saat ini 80% bahan baku obat-obatan di Indonesia diimpor dari India dan China. Anehnya, walaupun harga bahan baku impor ini murah, tapi setelah diproduksi menjadi obat-obatan generik bermerk oleh industri farmasi di Indonesia, harganya menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga obat-obat yang sama di India dan China.

Di samping itu, mahalnya harga obat generik bermerek di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India dan China, disebabkan tidak adanya pengaturan harga jual obat generik bermerek yang jelas dari pemerintah. Alhasil, harga obat tersebut menjadi tidak terkendali. Sementara di sisi lain, obat generik yang harganya terjangkau sangat sedikit ditemukan di sarana pelayanan kesehatan swasta di Indonesia, baik di rumah sakit maupun apotek.

Menurut GP Farmasi, rendahnya perhatian pemerintah terhadap manufaktur obat disebabkan karena produk obat hanya dianggap sebagai komoditas biasa, sama seperti produk konsumtif lain seperti alat elektronik, dan sebagainya. Padahal, produk obat seyogianya menjadi produk kebutuhan pokok seperti sembilan bahan pokok. Obat seharusnya menjadi dasar pembangunan dan bagian dari strategi besar negara.

Dalam struktur kelembagaan negara, industri farmasi berada di bawah binaan Kementrian Kesehatan, namun kementrian tersebut lebih banyak mengurus masalah pelayanan kesehatan, misalnya mengelola orang sakit agar menjadi sehat atau mengelola orang sehat agar tidak sakit. Sementara industri manufaktur obatnya nyaris tidak tersentuh. Padahal pasar obat di Indonesia sangat potensial. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 25% hingga 30% per tahun, maka pada tahun 2010 ini pasar farmasi nasional diproyeksikan mencapai Rp37 triliun.

Sekalipun telah menyadari begitu bervariasinya harga obat, nyatanya pemerintah belum mampu sepenuhnya mengendalikan harga obat, khususnya obat generik bermerek dagang. Sejauh ini terdapat 13.000 macam obat yang beredar di Indonesia. Obat generik bermerek dagang di pasaran harganya dapat mencapai 12 kali lipat dari harga obat generik dengan nama International Nonproprietary Name (INN) untuk jenis obat yang sama.

Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan, pemerintah tidak dapat mengatur harga obat generik bermerek dagang di pasar karena tidak ada landasan hukum yang kuat. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pengaturan harga obat, tetapi baru sebatas obat generik dengan INN.

Pada tahun 2006, ada 385 item obat yang harga eceran tertinggi atau HET-nya ditetapkan. Jumlah ini terus bertambah hingga menjadi 453 item pada tahun 2010. Khusus obat generik bermerek dagang, pemerintah sebatas mengendalikan hanya di fasilitas kesehatan pemerintah. Jika obat generik tidak tersedia, fasilitas kesehatan pemerintah dapat menggunakan obat generik merek dagang dengan harga maksimal tiga kali lipat harga obat generik dengan INN.

Sebenarnya upaya menekan harga obat yang makin mahal saat ini bisa ditempuh melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial. Asuransi kesehatan ini harus diprioritaskan pada masyarakat menengah bawah yang umumnya tidak mampu membeli obat. Pemerintah harus menganggarkan dana melalui APBN untuk membiayai asuransi bagi penduduk miskin. Untuk masyarakat mampu dan karyawan, asuransi kesehatannya bisa dibiayai sendiri atau ditanggung oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Penerapan model asuransi kesehatan juga harus dibarengi dengan penerapan sistem pelayanan kesehatan dan penggajian dokter yang baik. Perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan penggajian dokter sangat penting. Hal itu guna mengikis praktik kolusi yang tidak sehat antara dokter dan industri farmasi, yang ditengarai mempengaruhi besaran harga obat di pasaran. Saat ini masih banyak dokter lebih suka menuliskan resep obat-obat bermerek, yang harganya bisa 10-15 kali lebih mahal dibandingkan obat generik.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai ada kecurangan di perusahaan farmasi dalam menentukan harga obat. Ada temuan tidak wajar dalam struktur pembentuk harga beberapa obat yang beredar di pasaran. Ketidakwajaran tersebut, terletak pada persentase biaya distribusi dan promosi yang berkisar 50%-90% dari total biaya produksi. Persentase tersebut sangat tidak wajar dalam sebuah draft komponen harga sebuah komoditi.

Sementara itu, komponen biaya bahan baku yang harusnya mendominasi, justru hanya berkontribusi sekitar 10%-30% saja dalam pembentukan harga jual eceran. Misalnya, biaya produksi untuk jenis obat A total Rp5.000. Ternyata biaya distribusi dan promosi untuk obat ini bisa mencapai Rp4.000, sedangkan biaya bahan bakunya hanya Rp1.000. Bahkan dalam temuan KPPU di lapangan ada jenis obat yang biaya bahan bakunya tidak sampai 8% dari biaya produksi.

GP Farmasi sontak menolak tudingan KPPU ini. Menurutnya kewenangan perusahaan farmasi hanyalah memproduksi obat dan menjualnya melalui kerja sama dengan dokter dan apotek sesuai dengan harga yang telah ditentukan, dan penentuannya adalah Menteri Kesahatan. GP Farmasi merasa persentase komponen biaya yang ada tidak perlu lagi dipertanyakan karena telah melalui otoritas tertinggi di bidang kesehatan tanah air.

Di sisi lain, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) akan mereformasi apoteker dan berupaya mengubah pola pikir mereka. Reformasi di tubuh apoteker harus dilaksanakan seiring terbitnya PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian, yang mengatur tentang etika dan profesionalisme pekerjaan apoteker. Jadi kalau pasien merasa keberatan terhadap harga obat yang diresepkan dokter, maka apoteker harus menyarankan pasien untuk membeli obat generik.

IAI juga menegaskan bahwa apoteker jangan hanya melayani resep dokter atau hanya berada di dalam apotek saja. Apoteker harus senantiasa berinteraksi dan mau memberikan arahan dan konsultasi kepada pasien saat mereka membeli obat. Selama ini disinyalir banyak apoteker yang tidak berinteraksi dengan pasien, bahkan ada apoteker yang jarang datang ke apotek. (AI)

Tidak ada komentar: