Senin, Juni 07, 2010

Rotan

Perusahaan produsen rotan kini terus menyusut. Menurut Asoasiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), pada tahun 2008 ada sekitar 500 perusahaan yang memproduksi mebel rotan. Saat ini jumlahnya menyusut hingga hanya sekitar 150 perusahaan yang masih aktif berproduksi. Keterpurukan industri rotan ini diperparah dengan semakin sempitnya pangsa pasar ekspor rotan. Jika dulu pangsa pasar ekspor rotan ke Eropa, AS, dan Asia hampir 85% dikuasai oleh Indonesia, kini pangsa pasar Indonesia makin menyusut tinggal 50%, karena harus berebut pasar dengan Vietnam dan China.

Tahun 2010 ini ekspor produk rotan diperkirakan sama dengan tahun 2009, yaitu sekitar USD300 juta. Turunnya ekspor produk rotan ini karena saat ini tren furnitur dengan bahan rotan sedang turun. Selera konsumen lebih ke minimalis, jadi mereka menjauhi mebel rotan yang bergaya klasik. Beralihnya selera konsumen ini juga berakibat pada turunnya utilisasi industri produk rotan. Saat ini, dari kapasitas produksi terpasang industri rotan yang bisa menghasilkan sekitar USD1,5 miliar/tahun hanya terpakai sekitar 10%-20%. Artinya, dalam satu tahun, total produksi mebel rotan hanya sekitar USD150 juta-USD300 juta.

Tidak hanya industri rotan yang bermasalah pada penjualan produknya. Para petani rotan pun menghadapi masalah yang sama. Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag No.36/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Permendag tersebut adalah untuk mengatur larangan ekspor rotan dalam bentuk asalan, baik taman/sega dan irit (TSI) maupun nontaman/sega dan irit (NTSI). Rotan hanya boleh diekspor oleh eksportir terdaftar rotan (ETR), dengan jenis rotan TSI yang telah melalui proses pencucian dan belerang (natural washed & sulphured atau W/S), dan sistemnya kuota.

Ekspor jenis rotan NTSI dapat dilaksanakan setelah ETR melaksanakan wajib pasok terhadap kebutuhan bahan baku dalam negeri. Adapun rotan yang tak dapat digunakan di dalam negeri bisa diekspor setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan. Sementara ETR hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan. Terhadap ekspor rotan, pemberitahuan ekspor barang (PEB) disampaikan kepada Kantor Pabean di daerah penghasil rotan. Alhasil, Surabaya yang selama ini menjadi daerah pengekspor rotan terkena getahnya.

Menurut Yayasan Rotan Indonesia (YRI), biasanya Surabaya mampu mengekspor 23.000 ton tiap tahunnya. Total ekspor itu berasal dari rotan jenis polish NTSI sebanyak 8.000 ton dan W/S TSI sebanyak 15.000 ton. Setiap ton rotan polish NTSI harga free on board (FOB) berkisar USD1.300, sedangkan untuk W/S TSI USD1.100. Dengan harga itu, diperkirakan devisa yang hilang sebesar USD27 juta/tahun, padahal kebijakan ini sudah dua tahun berlangsung, artinya devisa hilang diperkirakan mencapai USD54 juta. Rotan sebanyak 23.000 ton itu merupakan hasil pengumpulan 76.000 orang petani pemungut rotan yang menghidupi 380 ribu sampai 500 ribu masyarakat yang hidup di tepi hutan di Kalimantan, Sulawesi maupun Nusa Tenggara.

Dalam bisnis rotan, eksportir adalah lokomotif penarik gerbong, sedangkan pedagang perantara dan pemroses berada di gerbong tengah, dan petani pemungut rotan berada di ujung gerbong. Artinya, bila lokomotif berhenti berjalan, semua kegiatan akan berhenti total. Petani pencari rotan menjadi pihak yang paling telak terkena imbas larangan rotan. Tidak heran bila kemudian petani rotan yang dulu melakukan budi daya rotan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, kini mengkonversi kebun rotannya menjadi kebun sawit atau bahkan ada yang berubah menjadi tambang batubara.

Tak berharganya rotan juga membuat para pencari rotan di Desa Tamesandi, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menggantungkan hidup sebagai petani kakao dan padi. Padahal, sebelumnya mencari rotan menjadi pekerjaan utama karena hasilnya bisa mengganjal kebutuhan ekonomi pada masa paceklik. Modal awal yang diberikan oleh pedagang pengumpul biasanya Rp1 juta. Separuh untuk kebutuhan rumah yang ditinggalkan, sisanya untuk bekal mencari rotan di hutan.

Petani pencari rotan di Desa Keppe, Kecamatan Mambi mengatakan, dua tahun lalu kecamatan kecil ini masih menjadi salah satu bandar pemasok rotan untuk pasaran Eropa. Pada hari-hari tertentu, ratusan petani pencari rotan turun dari gunung memikul rotan untuk dijual di kecamatan. Rotan yang terkumpul sebanyak 30-40 ton menggunung di gudang-gudang. Setiap hari pula truk-truk pengangkut rotan berdatangan untuk membawa komoditas hutan itu ke Polewali Mandar guna diolah. Namun, dua tahun terakhir aktivitas itu berangsur sepi, bahkan kini mati, sejak permintaan rotan mentah tidak ada lagi.

Di Kota Palu, dari 30 usaha rotan setengah jadi, kini hanya delapan yang bertahan. Jika dulu produksi mencapai 60.000 ton rotan setengah jadi per tahun, kini hanya 6.000 ton per tahun. Sekitar 500.000 petani rotan terancam kehilangan pekerjaan. Itu belum termasuk pekerja penggoreng rotan, pekerja poles, pengemudi truk pengangkut rotan, hingga petugas keamanan perusahaan. Misalnya, industri rotan dibangun di Makassar atau Palu, tetap saja akan berbiaya tinggi. Pasalnya, biaya pengiriman dan pengapalan mebel dari Palu lebih mahal USD750-1.000 per kontainer dibandingkan dari Jakarta. Hal ini disebabkan pelabuhan di Palu tak laik disinggahi kapal kontainer tujuan luar negeri.

Menurut data APRI Kabupaten Konawe, dari 33 usaha penggorengan (proses perebusan dengan minyak tanah), saat ini hanya tersisa enam. Di Sulawesi Tenggara, salah satu sentra penghasil bahan baku rotan, tidak ditemukan industri mebel rotan untuk kelas ekspor. Yang ada adalah industri setengah jadi dan itu pun kini gulung tikar. Industri mebel rotan ekspor juga tak berkembang di Sulawesi Barat. Di Desa Keppe, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, produk kerajinan rotan hanya sebatas tikar. Industri mebel rotannya hanya mengandalkan pasar lokal, dan itu pun menunggu pesanan.

Gagasan membangun industri mebel rotan di Sulawesi dilontarkan Departemen Perindustrian pada tahun 2008. Tujuannya, memberdayakan masyarakat di daerah penghasil bahan baku serta menambah nilai produk rotan di pasaran ekspor. Namun, gagasan itu tak didukung penyediaan tenaga terampil di bidang kerajinan rotan. Akibatnya, investor harus mendidik sendiri atau mendatangkan perajin rotan dari Jawa dengan ongkos tinggi. Pertimbangan itu mendorong pengusaha mebel rotan memilih mendirikan pabrik di Jawa, terutama di Cirebon, Jawa Barat. (AI)


Tidak ada komentar: