Senin, September 13, 2010

Perlunya saintifikasi obat tradisional

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menarik 46 obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Berdasarkan analisis risiko temuan pengawasan, masih ditemukan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO) yang dilarang dicampurkan. Sebagian besar hasil temuan pengawasan itu merupakan produk ilegal atau tidak terdaftar di BPOM RI. Dalam peredarannya, obat-obat tersebut kerap mencantumkan izin edar palsu. Dari ke-46 merek itu, 33 di antaranya izin edarnya palsu. Lima merek tak terdaftar dan delapan lainnya dibatalkan nomor registrasinya.

Ke-46 merek obat tradisional tersebut kebanyakan merupakan obat penambah stamina pria atau obat kuat. Produsen obat pun berasal dari beberapa daerah. Ada yang dari Jabodetabek, Cilacap, Surabaya, Makassar, dan Magelang. Bahkan terdapat dua merek obat tradisional yang diimpor dari Malaysia. Jenis BKO yang ditambahkan dalam obat tradisional pun beragam. Dari paracetamol, metampiron, chlortrimeton (CTM), tadalafil, dan lain-lain. BKO yang berlebihan sangat berbahaya bagi tubuh. BKO tersebut biasanya terkandung dalam obat keras dan untuk pemakaiannya pun membutuhkan resep dokter.

Pengawasan terhadap obat-obatan oleh BPOM RI dilakukan secara kontinyu. Pada kurun 2001-2007, penggunaan BKO pada obat tradisional kebanyakan untuk obat rematik dan penghilang rasa sakit. Namun sejak tahun 2007, tren tersebut beralih ke obat pelangsing dan penambah stamina. Untuk mengantisipasi penyebaran obat-obat itu, BPOM telah menginstruksikan kepada jajarannya untuk menarik dan memusnahkannya.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Indonesia menegaskan tidak ada anggotanya yang tak memiliki izin edar. Anggota GP Jamu yang saat ini berjumlah 1.247 perusahaan, semuanya terdaftar di BPOM. Jadi yang mengedarkan obat-obatan tradisional tersebut bukan anggota GP Jamu. GP Jamu menyambut baik usaha pemerintah dalam mengawasi peredaran obat-obat tradisional di Indonesia dan sebaiknya jangan hanya dilakukan secara musiman.

Obat-obatan tradisional sudah sejak lama digunakan sebagai penyembuh untuk berbagai penyakit. Hanya, penggunaannya secara luas berada di bawah bayang-bayang obat-obatan modern. Karena itu, hingga kini belum banyak digunakan dalam praktik pelayanan kesehatan. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengakui jika obat tradisional belum menjadi salah satu pilihan di bidang penyembuhan kesehatan.

Hal itu disebabkan minimnya penelitian tentang khasiat tanaman obat untuk dijadikan obat tradisional. Untuk itu, Menkes telah meresmikan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, agar dapat mendorong pemanfaatan obat tradisional di masyarakat. Balai besar bertujuan untuk meneliti tanaman obat, untuk dikembangkan ke arah produksi. Saat ini sifatnya masih penelitian dan pengembangan, belum produksi. Setelah formulanya ditemukan, baru dibuat dalam skala kecil dan ditawarkan ke pabrik. Menkes menargetkan, Balai Besar dalam setahun diharapkan mampu meneliti minimal dua tanaman obat dan menghasilkan 5 formula obat tradisional. Di Balai Besar sendiri terdapat 1.100 jenis tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan menjadi obat tradisional.

Pengembangan obat tradisional juga didukung dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengobat Tradisional yang mengatur penggunaannya dalam praktik pelayanan kesehatan. Saat ini konsepnya sudah ada, dan Kemenkes juga melibatkan tenaga ahli dari UI (Universitas Indonesia), ITB (Institut Teknologi Bandung), UGM (Universitas Gadjah Mada), dan UNS (Universitas Sebelas Maret).

Kalangan industri jamu perlu melakukan saintifikasi obat tradisional ini agar kemanfaatan dan aspek keamanannya bisa dibuktikan secara ilmiah seperti obat modern. Untuk mempertanggungjawabkan manfaat ilmiah jamu, maka arah pengembangannya harus mengikuti pengembangan obat modern. Kalangan industri jamu harus bisa membuktikan secara ilmiah bawah obat berbahan alami itu memberikan manfaat klinik untuk pencegahan atau pengobatan penyakit, serta tidak menimbulkan efek samping alias aman dikonsumsi. Akan tetapi karena proses produksi jamu berbeda dengan obat modern, maka hingga sekarang praktik kedokteran juga belum bisa menerima obat tradisional atau jamu sebagai obat yang diresepkan.

Menurut data Susenas 2007, diketahui bahwa penduduk yang memilih mengobati sendiri dengan obat tradisional sebanyak 28,69%, meningkat dalam waktu tujuh tahun yang semula hanya 15,2%. Data riset kesehatan dasar (riskesdas) 2010 juga memberi informasi dari populasi di 33 provinsi, dengan sekitar 70.000 rumah tangga dan 315.000 individu, secara nasional 59,29% penduduk Indonesia pernah minum jamu. Angka ini menunjukkan peningkatan penggunaan jamu/obat tradisional secara bermakna. Dan ternyata 93,76% masyarakat yang pernah minum jamu menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh.

Jika dilihat secara keseluruhan, industri jamu mampu memberi lapangan pekerjaan kepada 5 juta tenaga kerja. Besarnya penyerapan tenaga kerja dari sektor ini karena industri ini melibatkan ratusan ribu petani, melibatkan para peneliti di bidang pertanian, teknologi pangan, bioteknologi, farmakognosi, farmakologi, serta kimia. Sampai tahun 2008, omzet produk jamu secara nasional mencapai Rp5 triliun dan pasar dalam negeri merupakan potensi yang besar dan terus bertambah bagi industri jamu.

Tingginya animo pasar global terhadap jamu Indonesia dapat dilihat dari nilai ekspor yang meningkat. Menurut GP Jamu hingga pertengahan tahun 2010 ini nilai ekspor jamu sudah mencapai Rp800 miliar. Jumlah tersebut sama dengan total nilai ekspor jamu pada tahun 2009. Pada akhir tahun 2010, ekspor jamu diprediksi masih dapat naik hingga Rpl triliun-Rp2 triliun. Berdasarkan data Kadin, industri jamu Indonesia selalu berada di 10 besar pengekspor herbal dunia sejak tahun 1975. Sayangnya, meski Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah, tapi pasar jamu masih dikuasai China. (AI)

Tidak ada komentar: