Jumat, Desember 19, 2008

Impor tekstil ilegal makin meresahkan

Kalangan pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah serius untuk mengantisipasi lonjakan impor ilegal yang selama ini merusak pasar dan industri dalam negeri. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy, saat ini pasar impor TPT di dalam negeri jauh lebih besar dibandingkan dengan produk domestik, yang hanya mencapai sekitar 25%-27%, sisanya dikuasai oleh produk impor.

Ketua Umum API Benny Soetrisno memprediksi kerugian negara akibat produk tekstil ilegal setiap tahun mencapai USD600 juta. Menurut data API, sekitar 70% atau sekitar 861 ribu ton produk tekstil yang beredar di pasar domestik merupakan produk ilegal dari total konsumsi domestik sebesar 1,2 juta ton. Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Depperin Ansari Bukhari mengatakan, share produk tekstil domestik terhadap konsumsi pasar domestik cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2007, 30% pasar tekstil dipasok oleh produk domestik. Jumlah impor legal hanya sekitar 7% – 10% saja, artinya sekitar 60% - 63% merupakan impor ilegal.

Untuk memperkuat pasar domestik agar bisa meningkat secara bertahap - minimal 50% untuk tahap awal - API menawarkan tiga langkah pengamanan. Pertama, melakukan pembatasan pintu masuk impor melalui dua pelabuhan, yakni untuk kawasan Indonesia bagian barat melalui Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Indonesia bagian timur melalui Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Dengan adanya pembatasan pintu masuk impor diharapkan pengawasan lebih terkoordinasikan dan setiap data impor dapat tercatat dengan lebih jelas.

Kedua, menaikkan bea masuk (BM) untuk produk kain, dari 10% menjadi 15%, dan pakaian jadi dari 15% menjadi 25%. Saat ini tarif BM yang ditetapkan oleh Indonesia untuk TPT sangat rendah dibanding negara lain, atau dibanding batasan yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yakni sebesar 36%. Ketiga, melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dalam keadaan krisis keuangan global yang paling penting adalah penguatan ekonomi dalam negeri melalui sektor riil.

Sementara itu Deputi Bidang Perdagangan dan Distribusi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan, Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang besar dengan jumlah konsumen lebih dari 230 juta jiwa. Pangsa pasar domestik yang sangat besar itu harus diamankan, namun di sisi lain tetap melakukan impor untuk bahan baku dan barang modal yang digunakan untuk meningkatkan produksi termasuk ekspor. Meskipun daya beli masyarakat turun, saat ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah menutup impor ilegal dan impor barang konsumsi yang dapat dihasilkan dari dalam negeri.

Memang, setelah ancaman krisis kian nyata, pemerintah makin menyadari ancaman produk impor ke Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah menimbang akan membatasi lima jenis barang impor lagi. Lima produk impor itu adalah baja, kosmetik, farmasi, obat-obatan, dan alat rumah tangga. Untuk baja, komoditas yang impornya bakal semakin ketat adalah baja komersial dan baja konstruksi, seperti misalnya baja lembaran dan paku. Sebelumnya, Depdag telah mengeluarkan Permendag No.44/M-DAG/PER/10/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, yang mengatur impor lima jenis produk konsumsi, yakni TPT, makanan dan minuman, sepatu, mainan anak-anak, dan barang elektronika.

Pengaruh kondisi nilai tukar rupiah yang fluktuatif bahkan cenderung merosot, juga membuat pasar industri TPT stagnan. Para pembeli dan penjual saling menunggu untuk melakukan transaksi. Menurut Ketua API Jabar Ade Sudrajat, perilaku pasar industri TPT di Indonesia beragam. Di industri garmen, produsen lebih sering melakukan impor, sedangkan di industri tekstil sebaliknya, yakni melakukan ekspor. Hanya sedikit produk lokal yang diserap oleh industri garmen di Indonesia.

Di sisi lain, industri tekstil juga tersandung masalah pembayaran kontrak impor yang tertunda menyusul adanya krisis keuangan global. Hingga kini penundaan pembayaran sudah terjadi pada sekitar 40% dari total anggota API. Pembayaran kontrak impor yang biasanya 10 hari terlambat menjadi 3 minggu sampai 45 hari, akibatnya arus kas menjadi terganggu padahal perusahaan harus membayar gaji, listrik, dan sebagainya. Bahkan industri tekstil juga sudah banyak yang merumahkan tenaga kerjanya hingga 9% - 10% dari total pekerja yang ada sebanyak 1,2 juta orang. Persoalan kian bertambah rumit dengan makin sulitnya dana talangan (letter of credit atau L/C) perbankan. Pasalnya, perbankan enggan menalangi pembayaran yang ditunda importir karena ketatnya likuiditas.

Dengan kondisi seperti saat ini, API memperkirakan industri tekstil tak mampu mencapai target ekspor USD11 miliar pada tahun 2008. Ekspor tekstil diperkirakan hanya mencapai USD10,6 miliar, sedikit di atas nilai ekspor tahun 2007 sebesar USD10,3 miliar. Pesanan Januari hingga Maret 2009 sudah ada penurunan. Pangsa pasar pun turut menciut karena konsumsi AS berkurang dari 38 kg/kapita menjadi 32 kg/kapita. Hal yang sama juga terjadi di Eropa.

Pertumbuhan ekspor TPT pada tahun 2009 diperkirakan bakal mencapai USD11,07 miliar atau hanya tumbuh 2,18% dibanding tahun 2008 yang diasumsikan tumbuh 8,33%. Sementara volume ekspor TPT pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 2,064 juta ton atau hanya tumbuh 2,6% dibanding tahun 2008 yang diproyeksikan mencapai 2,012 juta ton dengan nilai mencapai USD10,84 miliar. Krisis ekonomi dunia telah menurunkan daya beli masyarakat di negara tujuan utama ekspor TPT Indonesia seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Selama periode Januari – Agustus 2008, nilai impor TPT AS dari seluruh dunia menurun 3,68% sedangkan volume impornya turun 5,24%. Impor TPT Jepang selama periode itu juga menurun sekitar 7,8% dan volume impornya turun 1,14%.

Dari Jabar dikabarkan Pemerintah Provinsi Jabar bertekad melindungi bisnis tekstil di Jabar dari ancaman krisis finansial global. Saat ini sudah disusun beberapa upaya untuk melindungi tekstil dari dampak krisis global. Pertama, terkait upah minimum provinsi (UMP), pemprov Jabar membuat cluster. Untuk cluster pertama, yakni bagi perusahaan yang langsung terkena dampak krisis.

Sementara cluster kedua untuk perusahaan yang tidak terkena dampak krisis secara langsung, yakni perusahaan di luar garmen dan tekstil. Untuk cluster kedua ini, pemprov akan bernegosiasi dengan pengusaha agar UMP di atas inflasi, yakni dalam kisaran 12,3% sampai 15%. (AI)


Tidak ada komentar: