Rabu, Desember 17, 2008

Terigu

Penurunan harga minyak dunia dan permintaan komoditi bahan baku energi alternatif menjadi berkah bagi industri tepung terigu. Harga gandum internasional menjadi anjlok hingga 40%, dari USD500/ton menjadi USD300/ton. Akibatnya, biaya produksi terigu turun dan produsen dapat menurunkan harga produknya dari Rp7.000/kg menjadi Rp6.000/kg atau sekitar 14%. Sebelumnya, harga gandum di pasar internasional tinggi lantaran banyak lahan gandum yang beralih fungsi, yakni ditanami tanaman penghasil sumber energi. Antusiasme petani didorong kenaikan harga minyak mentah dunia yang sempat mencapai USD100/barel. Saat ini petani kembali beralih menanam gandum.

Harga gandum yang turun itu berdampak lebih jauh. Produsen menurunkan harga produknya. Padahal, saat ini nilai tukar dolar terhadap rupiah mencapai kisaran Rp12.000/USD. Biasanya pelemahan rupiah terhadap dolar akan menaikkan harga terigu. Namun, akibat penurunan harga gandum hal ini tidak terjadi. Hasilnya, konsumen masih menikmati harga tepung terigu di kisaran Rp6.000/kg. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Lopies, ada dua komponen yang selama ini mempengaruhi harga tepung terigu, yakni harga gandum internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Saat ini Aptindo beranggotakan empat perusahaan, yaitu PT Bogasari, PT Eastern Pearl Flour Mills, PT Panganmas Intipersada, dan PT Sriboga Ratu Raya, dengan kapasitas produksi mencapai 4,8 juta ton/tahun. Produsen tepung terigu yang tergabung dalam Aptindo tersebut menguasai sekitar 80-85% pasar di Indonesia yang mencapai di atas 3 juta ton/tahun. Tahun 2008 ini produksi gandum ditargetkan turun dari tahun 2007 lalu di kisaran 10%. Pada tahun 2007, produksi tepung terigu nasional yang berasal dari impor dan produksi dalam negeri mencapai 3,6 juta ton. Sementara volume gandum tahun 2008 ini bakal mencapai 4 juta ton.

Secara umum pasar terigu dalam negeri sedang lesu. Penjualan tepung terigu dari empat produsen tersebut rata-rata merosot hingga 17,78% selama Januari hingga Juni 2008. Berdasarkan data Aptindo, penjualan terigu selama Januari hingga Juni 2008 hanya 1,32 juta ton, turun dibanding periode sama tahun 2007 yang mencapai 1,6 juta ton. Penjualan terigu ini turun karena daya beli masyarakat lesu. Bukan hanya terigu buatan lokal yang mengalami penurunan, terigu impor juga mengalami hal yang sama. Volume impor terigu selama semester I/2008 hanya 240.000 ton, atau turun 28% dibanding periode yang sama tahun 2007 yang mencapai 335.000 ton.

Dari empat produsen terigu, PT Sriboga Raturaya mencatat penjualan tertinggi dibanding pesaingnya. Penjualan Sriboga selama kurun waktu Januari hingga Juni 2008 mencapai 86.124 ton atau naik 33% dibanding periode sama tahun 2007 yang hanya 64.318 ton. Di saat bersamaan, penjualan tiga perusahaan terigu lainnya justru melorot. Penjualan PT Bogasari Flour Mills turun dari 1,2 juta ton menjadi 984 ribu ton. Begitu pula PT Eastern Perl Flour Mills turun dari 242,9 ribu ton menjadi 219,7 ribu ton. PT Panganmas Inti Persada turun dari 61,6 ribu ton menjadi 29,3 ribu ton.

Peningkatan penjualan Sriboga terjadi karena Sriboga sudah membidik pasar ekspor sejak akhir tahun 2007 lalu dan ternyata strategi ini cukup berhasil. Sriboga banyak ekspor ke Korea Selatan. Di samping itu, Sriboga juga mulai memasok terigu untuk seluruh gerai Pizza Hut di Indonesia karena Sriboga bisa memenuhi kualitas terigu yang diinginkan Pizza Hut. Sementara itu, tiga perusahaan terigu lainnya mengalami penurunan penjualan karena tidak melakukan ekspor. Ketiga perusahaan itu tetap fokus menggarap pasar domestik untuk penjualan segmen bawah, yang sekarang ini kondisinya mengalami penurunan daya beli. Keputusan untuk menjual sebagian hasil produksi ke pasar ekspor penting untuk mengantisipasi penurunan permintaan pasar dalam negeri.

Sementara itu Kementerian Negara Koperasi dan UKM menargetkan peningkatan produksi tepung mocal (modified cassava flour) mencapai 2 juta ton pada tahun 2012, sekaligus menggantikan sekitar 30% kebutuhan tepung terigu nasional. Saat ini kapasitas produksi tepung hasil diversifikasi produk berbahan singkong itu baru mencapai 360.000 ton/tahun. Dengan penanaman massal sekitar 2 juta ha pemerintah optimistis bisa mengurangi ketergantungan pada tepung terigu impor.

Saat ini lahan untuk budi daya singkong baru mencapai 600 ha. Lahan tidak produktif milik Perhutani yang bisa dipakai kelompok masyarakat seluas 2 juta ha di seluruh Indonesia. Adapun budi daya singkong saat ini baru terkonsentrasi di Trenggalek (Jatim) dan Grobogan serta Pati (Jateng). Mulai akhir tahun 2008 ini budi daya singkong mulai dikembangkan ke tiga daerah lain, yakni di Gunung Kidul (DIY) serta di Pacitan dan Wonogiri (Jateng). Dibandingkan dengan harga jual tepung tapioka sekitar Rp1.200-Rp1.300/kg, harga mocal di pasar lebih tinggi karena bisa mencapai Rp4.300/kg. Dibandingkan dengan harga tepung terigu di atas Rp7.000/kg, harga mocal juga lebih murah.

Sementara itu subsidi Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas terigu dan gandum akan dihentikan pada tahun 2009. Harga kedua komoditas tersebut terus menurun sehingga masyarakat tidak dibebani biaya pembelian yang tinggi. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, kedua komoditas itu tergolong kebutuhan masyarakat menengah ke atas sehingga subsidi pajaknya akan dihentikan.

Pengenaan PPN DTP mulai diterapkan pada minyak goreng tahun 2007. Hal ini disebabkan karena harga minyak goreng terus meningkat seiring dengan kenaikan harga komoditas pangan di pasar dunia. Program ini dilanjutkan pada tahun 2008 dengan menambah komoditas, yakni terigu dan gandum. Total anggaran subsidi untuk PPN DTP minyak goreng pada 2007 mencapai Rp300 miliar, tetapi pada 2008 ditambah menjadi Rp4,9 triliun (untuk minyak goreng, terigu, gandum). Sekarang, harga terigu dan gandum itu turun sehingga tidak diperlukan lagi PPN DTP.

Kalangan produsen makanan olahan berbasis terigu dan gandum memperkirakan harga produk mereka akan naik hingga 70% jika pemerintah menghentikan fasilitas PPN DTP untuk gandum dan terigu. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Pangan Indonesia (Aspipin) Boediyanto, kenaikan harga 70% itu disebabkan harga bahan baku seperti terigu dan gandum telah naik lebih dari 100% sedangkan minyak sawit mentah (CPO) kenaikan harganya sekitar 70%. Sementara itu, harga kemasan plastik juga naik 100%. Jadi, kalau sebelumnya harga makanan Rp1.000 akan naik menjadi Rp1.700. (AI)

Tidak ada komentar: