Rabu, Desember 10, 2008

THC naik

Departemen Perhubungan menetapkan besaran (terminal handling charge/THC) di Pelabuhan Tanjung Priok untuk peti kemas 20 kaki sebesar USD95, sedangkan untuk peti kemas 40 kaki sebesar USD145. Penetapan itu menyusul kenaikan biaya pelayanan peti kemas atau container handling charge (CHC) di Pelabuhan Tanjung Priok sejak 1 September 2008.

PT Pelabuhan Indonesia II menaikkan tarif CHC di Pelabuhan Tanjung Priok dari USD70 menjadi USD83 untuk peti kemas 20 kaki, sedangkan CHC peti kemas 40 kaki dari USD105 menjadi USD124,5. THC otomatis naik, karena terdiri atas biaya CHC dan biaya tambahan (surcharge). Surcharge dipungut oleh perusahaan pelayaran dan pihak lain lalu dibebankan ke pemilik barang sebagai pengguna jasa terakhir.

Menurut Direktur Utama PT Pelindo II A Syaifuddin, tarif CHC dinaikkan karena untuk menutup kenaikan biaya operasional. Sejak tahun 2005, tarif CHC yang ditetapkan sebesar USD70 tidak pernah naik, padahal harga BBM naik beberapa kali. Sebagai kompensasi dari kenaikan CHC, Pelindo II akan meningkatkan layanan dengan menambah minimal tiga crane baru di Pelabuhan Peti Kemas di Tanjung Priok. Pada Desember 2008 akan dimulai penambahan dua crane.

Penetapan tarif THC itu tertuang dalam Surat Menhub No.PR.302/3/18-PHB 2008 tanggal 21 Oktober 2008 perihal Pelaksanaan THC, CHC dan Surcharge di Pelabuhan. Dalam surat itu, tarif THC peti kemas 20 kaki dengan kondisi full container load (FCL) ditetapkan USD95 dengan perincian CHC USD83 ditambah surcharge USD12, sedangkan untuk peti kemas 40 kaki sebesar USD145 yang terdiri dari CHC USD124,5 ditambah surcharge USD20,5.

Sebenarnya, sejak 1 November 2005 THC untuk peti kemas 20 kaki telah diturunkan. Dari semula USD150 menjadi USD95, terdiri dari biaya CHC sebesar USD70 dan surcharge US25. Sementara itu THC peti kemas 40 kaki yang semula USD230 diturunkan menjadi USD145 yang terdiri dari biaya CHC USD105 dan surcharge USD40.

Dephub melarang kapal atau agen pelayaran rute internasional menetapkan biaya THC di atas ketetapan Menhub. Ketetapan besaran THC berlaku bagi seluruh kapal yang melakukan kegiatan memuat peti kemas ekspor dari Pelabuhan Tanjung Priok. Kepala Pusat Komunikasi Publik Dephub Bambang S. Ervan menegaskan, biaya THC di luar ketetapan pemerintah merupakan pelanggaran dan harus dilaporkan kepada administrator pelabuhan (adpel). Adpel telah memperoleh kewenangan dari pemerintah untuk mengawasi dan memberi sanksi kepada seluruh perusahaan pelayaran yang tidak mematuhi biaya THC keputusan Menhub.

Plt Dirjen Perhubungan Laut Dephub Zulkarnaen Oeyob telah menginstruksikan Adpel Tanjung Priok agar mengambil tindakan tegas terhadap pelayaran atau agennya yang tidak mematuhi ketentuan THC setelah adanya penetapan besaran THC oleh Menhub. Sesuai arahan Dirjen Hubla, bagi pelayaran atau agennya yang tidak mematuhi ketentuan THC, kapal yang bersangkutan dapat diberikan izin sandar dan melakukan bongkar peti kemas, tetapi tidak akan diberikan izin untuk melakukan pemuatan peti kemas.

Beberapa perusahaan atau agen perusahaan pelayaran rute internasional saat ini menetapkan biaya THC peti kemas 20 kaki di Tanjung Priok sebesar USD117, sedangkan peti kemas 40 kaki ditetapkan sebesar USD177. Menhub menegaskan apabila ada yang memungut biaya THC melebihi ketentuan tersebut agar dimasukkan dalam struktur biaya ocean freight, bukan pada komponen THC. Sementara itu, perusahaan pelayaran asing yang menetapkan surcharge harus terlebih dahulu menyampaikan hasil audit disertai dengan persetujuan tertulis dari pengguna jasa pelabuhan untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada Menhub.

Penetapan biaya THC di Pelabuhan Tanjung Priok yang disertai ancaman sanksi bagi perusahaan pelayaran atau agennya yang tidak mematuhi aturan itu ditanggapi beragam oleh pelaku usaha di pelabuhan itu. Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mengatakan pihaknya merespons positif langkah Menhub yang menetapkan besaran THC di Pelabuhan Tanjung Priok. Kebijakan itu juga mengurangi beban biaya angkutan laut di dalam negeri karena tidak akan ada lagi tambahan biaya. Untuk itu, Depalindo mendesak pihak pelayaran dan agennya di dalam negeri segera mengikuti keputusan Menhub tersebut.

Namun demikian, sejumlah eksportir di Pelabuhan Tanjung Priok justru mengkhawatirkan terjadinya ancaman kepadatan peti kemas tujuan ekspor di lapangan terminal kontainer jika Dephub melalui Adpel memberikan sanksi bagi perusahaan pelayaran atau agennya yang tidak mematuhi penetapan biaya THC. Pasalnya, kebijakan yang tidak akan memberikan izin untuk melakukan pemuatan peti kemas bagi pelayaran yang melanggar THC bisa berdampak pada terganggunya kegiatan ekspor sehingga peti kemas menumpuk di pelabuhan.

Namun kekhawatiran ini tidak terwujud. Sejumlah perusahaan kapal asing yang semula menolak mengangkut ratusan kontainer produk ekspor Indonesia akhirnya bersedia membawa kembali ratusan peti kemas yang sudah lama dibiarkan di Terminal Peti Kemas Internasional Jakarta (JICT). Adpel Tanjung Priok Bobby R Mamahit memastikan, kontainer-kontainer yang selama ini menyesaki areal terminal tersebut akan diangkut kembali oleh kapal-kapal asing pada minggu ketiga November 2008.

Pada minggu kedua November 2008 terdapat sedikitnya 998 kontainer yang terlantar di JICT, yang dibiarkan oleh empat maskapai perkapalan asing. Sedianya keempat maskapai tersebut sudah akan mengangkutnya kembali sejak minggu kedua November 2008. Keempat kapal yang melakukan penolakan tersebut adalah MV Apollon I (Manila) yang diageni Evergreen Indonesia, MV CMACGM Dardaweles (Fremantle, Australia) yang diageni CMA Indonesia, MV Ever Power (Hongkong) yang diageni Evergreen Indonesia, dan MV Wan Hai-215 (China) yang diageni Tresnamuda Sejati. Pengangkutan kembali jadi tertunda lantaran keempat perusahaan kapal asing tersebut menolak tarif THC.

Sementara itu Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Benny Soetrisno mengusulkan tarif THC setidaknya disamakan dengan Thailand, yakni USD67 untuk peti kemas 20 kaki, dan harus ditetapkan dalam rupiah seperti di Thailand THC dibayar dengan bath. Pasalnya, THC digunakan oleh perusahaan pelayaran asing di dalam negeri, misalnya untuk membayar fasilitas pelabuhan atau pegawai lokal. Banyaknya transaksi domestik yang menggunakan USD membuat pelaku usaha terpaksa selalu memburu USD. Akibatnya, permintaan USD untuk transaksi domestik tinggi dan mata uang rupiah rentan melemah dan terseret dalam fluktuasi nilai tukar. (AI)


Tidak ada komentar: