Rabu, Agustus 18, 2010

Obat generik tidak laku

Kementerian Kesehatan menargetkan 80-90% resep dari dokter di rumah sakit umum pemerintah atau puskesmas berisi obat generik pada tahun 2014. Saat ini baru sekitar 65-68% resep yang menuliskan obat generik bagi pasien. Padahal penulisan obat generik menjadi wajib lewat Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, yaitu dokter di Puskesmas dan RS pemerintah wajib meresepkan obat generik baik untuk diambil di sarana pelayanan kesehatan maupun di luar. Dalam peraturan tersebut, apoteker juga diberi kewenangan untuk mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya, dengan persetujuan dokter dan/atau pasien.

Sebenarnya penulisan resep obat generik oleh dokter cukup tinggi pada awal diberlakukan aturan tersebut yakni sekitar 60%. Namun peningkatannya lambat, hanya sekitar 2-3% tiap bulan, menyebabkan belum tercapainya kondisi yang diharapkan. Salah satu hambatan adalah masyarakat masih meragukan kualitas obat generik padahal kualitasnya tidak kalah bagus dan produk tersebut mendapatkan pengawasan ketat pemerintah lewat Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Ada kesalahan persepsi di masyarakat mengenai obat generik, karena murah maka dianggap tidak akan bisa memberikan khasiat yang setara dengan obat yang mahal. Fenomena ini menunjukkan ada yang salah dalam menjelaskan apa itu obat generik. Obat generik sebenarnya adalah obat yang kandungannya sama dengan obat asli atau obat originator tapi dikeluarkan 15-20 tahun kemudian setelah hak paten obat asli habis. Setelah masa paten terlewati maka industri farmasi yang lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama persis dengan obat originatornya, inilah yang disebut dengan obat copy atau obat generik.

Pertanyaan yang timbul adalah mengapa obat generik murah sedangkan obat originator sangat mahal. Hal ini karena industri farmasi yang memproduksi obat originator harus mengeluarkan dana yang besar, diantaranya untuk riset, uji pra kilinik, dan uji klinik. Namun, tidak demikian halnya dengan industri farmasi yang memproduksi obat copy/merk dagang. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk riset. Yang diperlukan hanya uji ketersediaan hayati dan uji bioequivalensi sebagai syarat untuk registrasi ke BPOM. Produsen obat merk dagang juga tidak perlu melakukan uji klinik, sehingga sebenarnya biaya produksi obat merk dagang tidaklah berbeda dengan obat generik.

Farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Iwan Dwi Prahasto menyatakan banyak keanehan pada harga obat di Indonesia. Harga obat bermerk bisa sama dengan harga obat paten, bahkan bisa 50-60 kali lebih mahal dari obat generik. Padahal, seharusnya obat bermerk yang diproduksi setelah masa patennya habis (15-20 tahun), harganya bisa 60% lebih murah, karena sudah tidak perlu membayar paten.

Untuk mengatur harga obat, pada tahun 2011 nanti, Kemenkes akan membuat satu unit baru yang akan menganalisis kondisi harga obat di pasaran. Selama ini belum ada regulasi yang menentukan harga obat di pasaran. Unit ini nantinya akan menganalisis harga obat di pasaran kenapa bisa tinggi misalnya dilihat dari kemasannya, bahan baku, pemasaran juga distibusi. Namun solusi utama untuk mengatasi permaslahan ini kata dia, harga obat harus terintegrasi dengan sistem asuransi. Seorang dokter jika menuliskan obat terikat dengan asuransi, sehingga hanya boleh menuliskan resep sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam asuransi.

Ketidaktahuan masyarakat terhadap obat generik berdampak pada program obat murah serba Rp1.000. Biaya kesehatan yang terus meroket membuat pemerintah mengeluarkan obat murah serba Rp1.000 yang merupakan obat generik bagi kalangan masyarakat kelas bawah. Program obat murah serba Rp1.000 diluncurkan pada tahun 2007 saat Siti Fadilah Supari menjabat sebagai Menkes. Program itu merupakan pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil kerja sama dengan BUMN produsen obat PT Indofarma.

Kehadiran obat Rp1.000 itu ternyata kurang mendapat respon oleh masyarakat. Bahkan obat-obat ini tertumpuk percuma di gudang para produsen obat, sementara dua tahun lagi expired (kedaluwarsa). Obat Rp1.000 merupakan paket yang terdiri dari obat panas, obat maag, obat diare, dan lain-lain. Diharapkan masyarakat yang sakit bisa sembuh dengan biaya murah. Kegagalan program obat murah ini dipicu dua hal, yaitu pertama, persepsi masyarakat yang menganggap obat generik tidak menguntungkan dan kedua, rendahnya biaya untuk sosialisasi kepada masyarakat.

Pemerintah tidak lagi memproduksi obat murah tersebut karena dinilai tidak memiliki pasar yang luas. Kemasan obatnya pun dianggap tidak mampu memberikan keyakinan sembuh kepada masyarakat. Pemerintah sebenarnya ingin mendistribusikan obat murah tersebut ke pembangunan kesehatan masyarakat di daerah, tapi terkendala biaya distribusi yang lebih mahal dari harga obatnya.

Pasar produk obat-obatan nasional pada tahun 2010 ini diperkirakan tumbuh di atas 10% dibanding tahun 2009 senilai USD3,5 miliar, seiring dengan kondisi perekonomian yang membaik. Meski demikian, konsumsi obat per kapita di Indonesia dinilai masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga se-Asia Tenggara, termasuk Vietnam. Konsumsi obat per kapita di Tanah Air sejauh ini masih sekitar USD13-USD15/kapita. Dari total pasar industri farmasi tersebut, sekitar 60% di antaranya merupakan penjualan produk obat resep (etikal), sisanya adalah produk obat bebas (over the counter/OTC).

Adanya kebijakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) di bidang pelayanan kesehatan diharapkan dapat mendongkrak konsumsi obat per kapita Indonesia dan memacu pertumbuhan sektor farmasi ke depannya. Dengan rencana implementasi SJSN, alokasi anggaran pemerintah untuk pelayanan bidang kesehatan diharapkan ikut terkerek naik menjadi 3,5% dari pendapatan nasional bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP). Saat ini, porsi alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan masih sekitar 2,2% dari PDB nasional. (AI)

Tidak ada komentar: