Senin, Agustus 02, 2010

Rumput laut

Indonesia bertekad menjadi produsen rumput laut terbesar dunia pada tahun 2015. Menurut Komisi Rumput Laut Indonesia, rumput laut setidaknya memiliki lima keunggulan untuk menjadi komoditas pilihan. Lima keunggulan itu adalah luasnya garis pantai Indonesia untuk pengembangan rumput laut, mudah dibudidayakan karena waktu panen yang relatif singkat yaitu 45 hari, kecenderungannya bersifat padat karya, memiliki permintaan pasar yang tinggi, serta memiliki nilai tambah tinggi karena merupakan bahan baku industri makanan, farmasi, kosmetik, dan lain-lain. Rumput laut Indonesia berkontribusi pada sekitar 500 end products di dunia.

Saat ini, di Indonesia tercatat ada 23 industri pengolahan rumput laut. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, total produksi rumput laut pada tahun 2008 mencapai 2,15 juta ton dengan peningkatan produksi sekitar 5% setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 102.415,93 ton rumput laut diekspor ke sejumlah negara tujuan dengan nilai ekspor USD124,26 juta. Asia paling banyak menyerap rumput laut dari Indonesia, yakni 85.985,50 ton dengan nilai USD88,3 ribu. Pada tahun 2009 lalu, produksi rumput laut dalam bentuk basah secara nasional mencapai 2,2 juta ton. Produksi rumput laut di Indonesia terus dipacu. Hingga tahun 2014 produksi rumput laut ditarget bisa mencapai 10 juta ton dalam bentuk basah atau sekitar 1 juta ton kering.

Dari target produksi rumput laut di Indonesia yang mencapai 10 juta ton, produksi Sulsel ditarget bisa mencapai 2,4 juta ton atau sekitar 40% dari total produksi secara nasional. Untuk rumput laut yang dikembangkan di tambak, luas lahan yang terpakai masih sekitar 20% dari luas areal yang mencapai 100 ribu ha dan masih terkonsentrasi di Luwu Raya, Luwu Timur, Wajo, Bone, dan lain-lain.

Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggatra juga memiliki potensi rumput laut yang besar. Volume produksi budi daya rumput laut basah Wakatobi mencapai 13.086,6 ton, sedangkan budi daya kering sebesar 2.181,1 ton. Potensi sebesar itu masih dapat lebih dioptimalkan lagi, mengingat Wakatobi merupakan daerah kepulauan dengan luas perairan budi daya mencapai 1,399 juta ha, sedangkan produksi yang baru tercapai hanya 150 ton sekali panen. Belum optimalnya pengelolaan rumput laut di Wakatobi antara lain disebabkan masih dikeluhkannya penyakit rumput laut, yaitu ice-ice dan lumut, Di samping itu juga masih minimnya pengetahuan pasca panen, dan belum meratanya pengetahuan pembukuan usaha.

Keberadaan perguruan tinggi (PT) untuk menanggulangi penyakit rumput laut sangat dibutuhkan petani rumput laut Wakatobi. Jika diperlukan, PT juga mengembangkan balai benih. Selain memberi manfaat bagi masyarakat, PT juga akan mendapat manfaat karena dapat melaksanakan riset yang hasilnya tentu sangat dinantikan masyarakat. Untuk itu, Pemkab diharapkan lebih fokus lagi dalam membantu PT dan petani dalam mengelola rumput laut, sehingga menjadi skala usaha yang optimal dengan tetap memperhatikan carrying capacity (daya dukung lingkungan). Untuk menjadi balai benih, Pemkab Wakatobi dapat membangun gudang dan balai lelang, sekaligus dapat mengadakan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI), untuk mendatangnkan pembeli.

Dalam hal pengelolaan rumput laut pasca panen, misalnya adanya home industry bahan pangan atau oleh-oleh rumput laut, tentunya selain membutuhkan kinerja pelatihan yang optimal dari instansi terkait, juga perlu menyiapkan sarana dan prasarana penunjang misalnya air bersih. Pasalnya, saat ini masih terdapat pulau di Wakatobi yang belum tersentuh air bersih.

Selain daerah-daerah tersebut, sebenarnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga memiliki potensi besar dalam budidaya rumput laut. Potensi membudidaya rumput laut sangat menjanjikan sebagai salah satu sektor usaha baru meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di pesisir pantai. Di Simeuleu dan Pulo Aceh misalnya, rumput laut sangat cocok dibudidayakan dan dikembangkan. Apalagi daerah tersebut memiliki teluk yang sangat bagus untuk membudi daya komoditi tersebut.

Budi daya rumput laut mempunyai beberapa kelebihan, antara lain permintaan pasar domestik dan luar negeri terhadap komoditas rumput laut sangat tinggi. Sayangnya, sampai saat ini budi daya tersebut belum bisa dikembangkan di Provinsi NAD. Hal ini disebabkan belum adanya investor maupun industri pengolahaan rumput laut yang mau mengelola komoditas tersebut untuk dijadikan bahan-bahan yang bermanfaat sehingga dapat memberdayakan masyarakat Aceh.

Langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target tahun 2015 tersebut adalah dengan mengelompokkan para petani rumput laut dalam cluster. Ada 14 cluster yang tahun ini sudah dibuat yaitu di Kabupaten Pamekasan, Gorontalo, Sumba Timur, Pangkep, Dompu, Sumbawa Barat, Serang, Karimun, Minahasa Utara, Parigi Motong, Polewali Mandar, Baubau, dan Rajaampat. Selain sistem cluster, pemerintah akan menerapkan approval number bagi para pedagang rumput laut. Hal ini dilakukan agar tata niaga rumput laut ini tertib dan harga rumput laut tetap stabil.

Harga komoditas rumput laut di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, masih stabil pada posisi Rp15.000/kg pada akhir Juli 2010. Harga rumput laut tersebut terbilang tinggi karena minimnya pasokan dari petani akibat curah hujan yang meningkat. Selain curah hujan tinggi, sejumlah lahan budi daya petani belum pulih akibat empasan gelombang beberapa waktu lalu. Biasanya, harga rumput laut berada di kisaran Rp12.000/kg.

Saat musim hujan, petani kesulitan mengolah rumput laut tersebut. Pasalnya, proses pengolahan tersebut membutuhkan sinar matahari yang cukup. Di tingkat petani, harga rumput laut antara Rp10.000 hingga Rp12.000/kg untuk jenis rumput laut kualitas baik, sedangkan jenis rumput laut asalan, hanya Rp9.000/kg. Permintaan rumput laut pada bulan puasa ditengarai akan naik karena permintaan sejumlah pengusaha kecil maupun menengah meningkat. Tak hanya itu saja, pembelian konsumen juga meningkat tajam saat puasa hingga menjelang Lebaran nanti untuk kebutuhan konsumsi keluarga. (AI)

Tidak ada komentar: