Senin, Agustus 30, 2010

Perda bermasalah masih banyak

Presiden diminta segera menandatangani pembatalan ribuan peraturan daerah (perda) bermasalah. Jika tidak dibatalkan, regulasi level daerah itu bisa menganggu iklim investasi. Kementerian Keuangan sudah sejak lama merekomendasikan pembatalan perda-perda bermasalah kepada kepala pemerintahan. Mayoritas perda yang diminta dibatalkan adalah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.

Presiden sebaiknya mengeluarkan perpres tentang persetujuan pembatalan perda bermasalah. Ketegasan sikap Pemerintah untuk meninjau perda bermasalah dibutuhkan demi menjaga kepastian dunia usaha di daerah terkait. Isu dan wacana sangat mempengaruhi perkembangan dunia usaha. Jika suatu perda direkomendasikan batal, sementara persetujuan pembatalan itu tidak juga selesai, dapat menimbulkan efek negatif.

Namun, berdasarkan penilaian Kemenkeu, setidaknya ada 15 sektor dalam perda yang perlu mendapat perhatian Presiden. Kelima belas sektor itu adalah administrasi dan kependudukan, budaya dan pariwisata, energi dan sumberdaya mineral, kelautan dan perikanan, kesehatan, ketenagakerjaan, komunikasi dan informasi, koperasi dan UKM, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, perindustrian dan perdagangan, perkebunan dan kehutanan, pertanian, serta sumbangan pihak ketiga.

Berdasarkan catatan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) hingga akhir Desember 2009, Kementerian Keuangan telah mengajukan usulan pembatalan 3.735 perda ke Presiden. Namun yang dibatalkan baru 945 perda. Perda yang diusulkan untuk dibatalkan merupakan hasil penelitian dari Tim Monitoring Bersama Kemenkeu dan Kemendagri. Hal ini menunjukkan rekomendasi pembatalan perda sudah komprehensif dan tidak perlu diperlama.

Sementara itu, Kemendagri sejak tahun 2002 hingga 2009 atau dalam kurun tujuh tahun telah membatalkan 1.333 perda. Dari sekian banyak perda yang dibatalkan, sebagian besar terkait perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pada proses evaluasi perda selanjutnya, Kemendagri telah menjalin kerja sama dengan pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK sebagai eksternal auditor keuangan daerah diharapkan bisa membantu memberikan masukan atas pemberlakuan perda di tiap daerah.

Dalam tugasnya, BPK bisa melihat retribusi atau sumber keuangan mana saja di daerah yang telah berpijak pada aturan yang lebih tinggi. BPK bisa melihat perda apa saja yang telah sesuai dengan aturan yang lebih tinggi pada saat melakukan audit keuangan. Jika ada sumber keuangan daerah yang dihasilkan namun tetap menggunakan perda lama maka BPK berhak melakukan rekomendasi kepada Kemendagri untuk dibatalkan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menemukan sebanyak 3.091 perda bermasalah yang seharusnya dibatalkan atau direvisi karena menghambat perekonomian. Per Juli 2009 ditemukan 246 perda bermasalah. Sementara pada tahun 2008 terdapat 1.033 perda bermasalah. Tahun 2008 yang terbanyak, sedangkan tahun 2001-2006 ada 1.039 perda, dan tahun 2007 sebanyak 773 perda. Jadi total 3.091 perda bermasalah sepanjang tahun 2001-2009. Adanya Perda bermasalah tersebut diketahui setelah perda tersebut disahkan.

KPPOD menilai hampir 5.000 perda yang mengatur berbagai sektor dinilai tak bersahabat bagi investasi. Sampai Mei 2010 ada 4.885 perda yang direkomendasikan agar dibatalkan. Menurut KPPOD, perda sektor perhubungan paling bermasalah, sebanyak hampir 600 perda, disusul sektor perindustrian dan perdagangan sekitar 549 perda. Sementara itu, Provinsi Sumut dinilai sebagai daerah yang paling tak ramah investasi dengan lebih dari 300 perda.

Penilaian perda bermasalah ini diperoleh dari keluhan asosiasi pengusaha dari berbagai sektor di berbagai daerah. Rata-rata mengeluhkan peraturan terkait biaya seperti penambahan biaya administrasi dan retribusi yang ditarik di awal ketika pengusaha baru mau investasi. Kalangan pengusaha meminta perda tersebut dibatalkan karena memberatkan. Misalnya perda Kabupaten Asahan menetapkan penghitungan retribusi baru yang totalnya naik hingga 16 kali lipat. Perda-perda yang diterbitkan pascakebijakan otonomi ini cenderung meningkatkan ketidakpastian usaha.

Dua gubernur di Kalimantan, yakni Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, secara tegas menyatakan bahwa ratusan perda di dua daerah itu yang dikategorikan bermasalah harus dicabut. Selain dinilai memperburuk iklim investasi di daerah, perda-perda tersebut diperkirakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pihak Pemprov Kaltim sudah meminta pemkab dan pemkot menyangkut perda-perda bermasalah tersebut. Saat ini Kaltim berada di urutan keempat sebagai daerah dengan jumlah perda bermasalah terbanyak (151 perda). Sementara itu, di Kalteng ada 135 perda bermasalah. Kemungkinan ada yang dikeluarkan oleh pemkot atau pemkab di Provinsi Kalteng.

Dari Jatim dikabarkan sebanyak 194 perda masih mengganggu aktivitas investasi di wilayah tersebut. Berdasarkan catatan KPPOD, jumlah perda kontraproduktif di Jatim menempati posisi kedua setelah Sumut. Pemprov Jatim akan terus melakukan pemeriksaan terhadap Perda yang terbukti mengganggu investasi di provinsi yang memiliki 38 kabupaten dan kota ini. Data KPPOD terakhir menyebutkan, dari 33 provinsi di Indonesia, ada 3.735 perda yang diusulkan dibatalkan oleh Kemenkeu. Dari jumlah itu 945 perda telah batal, dan untuk 22 perda lainnya yang ada di tiap-tiap pemda mendapatkan teguran. Selain itu, enam perda kini direvisi dan 2.762 lainnya belum ditindaklanjuti.

Mekanisme pembatalan perda bermasalah oleh UU No.28 Tahun 2009, terutama perda pajak dan retribusi daerah melalui Perpres dinilai terlalu birokratis. Dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan IV DPR RI, Ketua DPR RI Marzuki Alie meminta agar kewenangan pembatalan perda bermasalah yang ada di Presiden didelegasikan kepada Mendagri. Hal senada disampaikan Pengamat Kebijakan Publik UI Andrinof Chaniago, mekanisme pembatalan perda lewat Perpres dinilai kurang sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang menitikberatkan pada pentingnya efektivitas dan efisiensi. Seharusnya ada pendelegasian kepada Mendagri sebagai bentuk penegakan prinsip efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan. (AI)

Tidak ada komentar: