Rabu, Agustus 06, 2008

Industri farmasi butuh insentif

Ekspor obat dan produk farmasi ke Uni Eropa (UE) ditargetkan dapat tumbuh sekitar 30% atau mencapai nilai USD9 juta selama tahun 2008. Menurut Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Bachrul Chairi, target itu didasari pencapaian nilai ekspor Januari-Maret 2008 yang sebesar USD1,1 juta atau tumbuh 30% dibanding periode yang sama tahun 2007. Selama lima tahun terakhir, ekspor ke Eropa menunjukkan tren yang positif dengan pertumbuhan 23,6%. Angka itu merupakan indikasi besarnya pasar UE. UE merupakan pasar kedua terbesar di dunia (25%) setelah AS yang mencakup 47% dan Jepang 11%.

BPEN mencatat, ekspor produk farmasi Indonesia ke dunia pada tahun 2007 mencapai USD176,3 juta. Pada periode Januari-Maret 2008 mencapai USD39,4 juta atau meningkat 15,8% dibanding periode yang sama tahun 2007. Ekspor produk farmasi Indonesia ke Eropa pada tahun 2007 mencapai USD7,4 juta, diantaranya ke Jerman USD4,6 juta dan Inggris USD554 ribu. Ekspor produk farmasi yang terbesar antara lain vaksin manusia, obat KB berbahan dasar hormon, serta obat lain yang mengandung hormon dan steroid.

Ketatnya regulasi dan standar impor produk farmasi di Eropa membuat ekspor produk tersebut diarahkan ke negara-negara kawasan Asia dan Afrika seperti Thailand, India, Korea Selatan, Nigeria, dan Filipina. Selain UE, pasar lain yang juga potensial antara lain Eropa Tengah dan Timur Tengah. Wilayah ini merupakan potensi yang sangat besar karena mereka sedang melakukan reformasi ekonomi menjadi pasar bebas. Pertumbuhan ekonomi di wilayah itu juga tinggi karena ada peralihan industrialisasi dari Eropa Barat ke negara yang baru bergabung ke UE.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Johanes Setijono mengatakan pemerintah harus memberi insentif untuk mendukung pertumbuhan industri farmasi di Indonesia agar bisa menjadi tulang punggung negara seperti di India dan China. Dalam hal ini insentif yang dibutuhkan antara lain dalam hal riset pengembangan dan kemudahan ekspor, mengingat industri farmasi adalah industri yang sangat ketat aturan, padat modal dan butuh teknologi tinggi. Dengan kebijakan tepat industri farmasi Indonesia bisa mengikuti perkembangan industri farmasi India dan China.

Menurut Managing Director PT Ferron Par Pharmaceuticals Djoko Sujono, pemerintah perlu memberi dukungan berupa kebijakan yang jelas dan tidak memakan waktu. Ia mencontohkan, saat perusahaannya memerlukan contoh obat asli dari perusahaan importir untuk diuji sebelum melakukan ekspor, ternyata impor produk contoh itu tidak mudah mengingat diharuskan membuat izin edar obat.

Terkait kebijakan ekspor, proses registrasi di dalam negeri masih memerlukan waktu yang lebih lama dari yang dijanjikan. Menurut ketentuan prosesnya tiga bulan, tetapi ternyata bisa lebih. Lamanya proses registrasi sangat penting karena berpengaruh terhadap fluktuasi harga produk farmasi, sama seperti komoditi. Jadi begitu hilang momennya hilang kesempatan mendapat untung.

Di India dan China, pemerintahnya bahkan memberikan insentif pajak berupa pembebasan PPN impor dan keringanan Pajak Penghasilan (PPh) untuk produk yang diekspor. Sementara di Singapura, Malaysia, dan Australia, pemerintah juga memberikan insentif untuk penelitian. Bahkan di Malaysia untuk riset unggulan akan mendapat dana tambahan 100% sehingga produsen obat senang melakukan riset.

Akan tetapi, saat ini kebijakan pemerintah Indonesia sudah lebih baik dibanding sebelumnya karena telah membolehkan dana penelitian dianggap sebagai pembayaran pajak (tax deductible). Pemerintah tidak dapat memberikan insentif khusus ekspor karena akan dianggap melanggar aturan WTO. Jadi yang pemerintah bisa berikan hanya berupa fasilitas infrastruktur dalam negeri dan layanan yang lancar dan mudah.

Saat ini, hampir semua obat yang beredar di masyarakat diproduksi oleh industri di dalam negeri, hanya produsennya yang beda-beda. Ada Penanam Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negari (PMDN), BUMN, dan Industri Menengah dan Kecil. Dari sisi jumlah, industri farmasi di Indonesia sekitar 280 perusahaan. Sebagian besar, atau hampir 80% adalah perusahaan farmasi yang penanam modalnya milik dalam negeri, dan industri kecil dan menengah. Namun, sekitar 20 pabrik milik asing menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Jadi memang asing yang menguasai industri farmasi.

Dari sisi tenaga kerja, apoteker yang berasal dari luar negeri kini mulai membanjiri Indonesia. Para apoteker dari beberapa negara, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina, kini banyak dijumpai bekerja di perusahaan farmasi multinasional yang ada di Tanah Air. Menurut Wakil Ketua Pengurus Daerah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Jawa Tengah Partana Boedirahardja, dalam era pasar bebas nanti, persaingan apoteker akan semakin luas, tidak hanya antarsesama apoteker di dalam negeri, tetapi juga dengan apoteker dari luar negeri yang memilih bekerja di Indonesia.

Saat ini memang belum terlihat persaingan langsung dengan apoteker dari luar negeri. Namun, mereka sudah menunjukkan sisi lebih, setidaknya dari sisi bahasa. Mereka menguasai bahasa Inggris, sedangkan apoteker lokal baru sebagian saja yang menguasainya dengan baik. Mereka juga menguasai bahasa Indonesia. Dokter asal luar negeri yang ada di Indonesia sekitar 3.000 orang, jumlah apoteker asing yang bekerja di sini kira-kira hampir sama. Oleh karena itu apoteker perlu menguasai kemahiran berbahasa Inggris agar mampu bersaing dengan rekan seprofesi.

Kebutuhan apoteker di Tanah Air masih cukup besar, terlebih saat ini ada kewajiban bukan hanya apotek yang harus mempunyai apoteker, tetapi juga puskesmas dan pedagang besar farmasi. Menurut dosen Kimia Fakultas Farmasi Universita Muhammadiyah Surakarta Broto Santoso, kualitas apoteker Indonesia sebenarnya tidak kalah dari apoteker dari luar negeri. Dari sisi keilmuan, apoteker Indonesia bisa dibandingkan, tapi memang dari segi bahasa Inggris kalah.

Kondisi dunia farmasi di Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan persaingan global yang didesain oleh kapitalis. Tahun 2008 ini industri farmasi Indonesia, mau tidak mau, suka tidak suka, obat dari negara ASEAN akan leluasa masuk ke Indonesia. Pasalnya, sudah menjadi keputusan bersama menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area). Begitu juga sebaliknya dari Indonesia bebas masuk ke negara ASEAN yang lain. Jargon yang dikedepankan adalah agar industri farmasi Indonesia dapat lebih efisien sehingga bisa berkembang. Masalahnya, apakah industri farmasi di Indonesia sudah siap? (AI)


Tidak ada komentar: