Jumat, Agustus 08, 2008

Jual-beli karbon untuk kelestarian hutan

Menhut MS Kaban mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar memanfaatkan karbon yang berasal dari resapan hutan-hutan di Indonesia, karena hutan di Indonesia memiliki potensi karbon sejumlah 68 miliar ton. Jika 1 ton karbon dihargai sebesar USD1, maka pemerintah bisa mengantungi USD68 miliar hanya dari karbon. Saat ini pemerintah masih membahas bagaimana mempersiapkan pasar untuk menjual karbon tersebut. Pasalnya, ada pasar mandatory dan pasar voluntary. Pasar mandatory disiapkan di dalam negeri, sedangkan pasar voluntary dicari dari luar negeri.

Pada pertengahan Juni 2008 lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd menandatangani perjanjian kerja sama kemitraan karbon hutan (forest carbon partnership). Kerja sama tersebut memegang peran penting dan merupakan upaya signifikan untuk mengurangi emisi, yang terjadi akibat degradasi hutan, dalam jangka panjang. Kerja sama ini juga akan membantu RI dan Australia mengajak negara lainnya untuk melakukan upaya serupa.

Terdapat tiga area utama yang diatur dalam kolaborasi tersebut, yaitu pertama, pembangunan kebijakan dan peningkatan kapasitas guna mendukung partisipasi dalam negosiasi internasional, dan nasib perdagangan karbon di masa depan. Kedua, dukungan teknis bagi Indonesia untuk mengembangkan penghitungan karbon hutan, pengawasan sistem, pengembangan aktivitas pendampingan. Ketiga, mengurangi emisi akibat deforestasi serta berkurangnya hutan. Dalam perjanjian kerja sama tersebut disebutkan bahwa kedua negara akan terus melakukan upaya di bawah keputusan yang telah dihasilkan pada United Nations Framework Convention on Climate Change dan Protokol Kyoto.

Perdagangan karbon (carbon trade) merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi dampak global warming. Carbon trade adalah menjual kemampuan pohon, terutama pohon berkayu untuk menyerap karbon demi mengurangi emisi karbon di atmosfer. Carbon trade merupakan mekanisme baru yang berkembang saat ini, yakni negara-negara maju membayar kompensasi akibat emisi karbon yang dihasilkan oleh negaranya kepada negara berkembang, agar dapat mengelola dan menjaga kelestarian hutannya dengan tujuan utama sebagai penyerap karbon yang ada di atmosfer.

Pemerintah harus siap mengendalikan perdagangan karbon dengan regulasi yang komprehensif dan aplikatif. Bisnis baru yang muncul dari pelaksanaan program reduksi emisi (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD) harus melibatkan potensi lokal di sekitar hutan sebagai pelaku, bukan sekadar obyek bisnis. REDD merupakan mekanisme internasional bersifat sukarela untuk memberi insentif finansial bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Negara-negara penghasil emisi kemudian membayar sejumlah uang atas upaya negara berkembang tersebut.

Potensi pasar REDD Indonesia mencapai USD13,25 miliar dengan asumsi cadangan karbon mencapai 300 ton/ha. Departemen Kehutanan harus menerbitkan aturan acuan pelaksanaan REDD yang mampu menyinkronkan seluruh kebijakan terkait aplikasi program REDD, yang bakal berkaitan dengan tata ruang, keuangan, dan otonomi daerah. Jangan sampai program REDD hanya menjadi perdagangan karbon yang cuma menguntungkan pedagang dan mitranya. Dana yang dihasilkan harus turut dinikmati masyarakat lokal dan badan pengelola.

Hutan di Mimika yang luas menjadi salah satu dari tiga wilayah selain kawasan hutan di Mamberamo dan Merauke yang diikutkan dalam program REDD Carbon Trade Papua. Luasan hutan Mimika yang akan dijadikan kawasan tersebut dicadangkan sekitar 112 ribu ha. Karena ternyata hanya kawasan hutan produk, mengingat hutan produksi konversi saja yang bisa diikutkan. Sementara untuk kawasan hutan lindung di Mimika seluas 303.444 ha dan hutan yang ada di kawasan Taman Nasional Lorenz dengan luas sekitar 823.253 ha di luar ketentuan.

Namun demikian, pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dalam mekanisme carbon trade ini. Pasalnya, sampai saat ini belum ada data untuk perhitungan perdagangan karbon dan sampai beberapa tahun mendatang masih sulit diperkirakan. Pemerintah masih harus mengkaji berapa jatah emisi Indonesia dan berapa jatah yang bisa kita dijual ke negara lain guna memperoleh kredit untuk penanaman pohon melalui reboisasi.

Sebagaimana biasa dalam bisnis dan perdagangan, umumnya masyarakat cenderung berada dalam posisi yang lemah untuk negosiasi, sulit memperoleh informasi harga dan peluang bisnis, serta memiliki keterbatasan dalam akses kepada kelembagaan keuangan. Keterbatasan-keterbatasan ini cenderung dimanfaatkan pihak lain. Akibatnya, pihak yang kuat mendapat keuntungan, sedangkan masyarakat diperalat. Dalam hal ini Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaaan dan bersikap aktif terhadap mekanisme carbon trade agar Indonesia tidak salah langkah dan terjerumus pada masalah baru bertajuk carbon trade.

Bahkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai kebijakan jual-beli karbon melalui kompensasi yang dikucurkan negara-negara yang berkontribusi menyebabkan polusi udara tidak akan menjadi solusi perbaikan lingkungan yang berarti. Menurut Manajer Kampanye Hutan Eksekutif Nasional Walhi Rully Syumanda, pemerintah Indonesia sebaiknya bersikap tegas terhadap kebijakan-kebijakan yang kompromis, seperti pengenaan denda kompensasi terhadap negara-negara yang terbukti melakukan pencemaran udara. Dalam mekanisme pemberian denda, nilai denda yang ditetapkan terlalu sedikit, sehingga tidak akan menimbulkan efek jera bagi perusahaan-perusahaan yang terbiasa membakar lahan gambut untuk membuka lahan baru. Saat ini dendanya hanya USD10/30 ha.

Meski tawaran pemberian kompensasi dari negara industri penyumbang karbon terhadap negara yang memiliki cakupan hutan luas begitu menggiurkan, nilai yang ditawarkan tetap tidak akan mampu membayar beban kerusakan alam akibat polusi karbon limbah industri.
M
elalui mekanisme REDD, Indonesia memang memiliki peluang mendapatkan dana kompensasi dalam jumlah besar. Dari sekitar 36,5 juta ha kawasan hutan lindung, ditaksir Indonesia akan meraih dana kompensasi USD105-113,7 miliar. Jumlah kompensasi tersebut belum termasuk 38,7 juta ha hutan kawasan produksi (data Dephut tahun 2005) yang dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dengan nilai kompensasi mencapai USD111,46 miliar hingga USD120,74 miliar. Total nilai kompensasi penyerapan karbon dari kawasan lindung dan hutan produksi Indonesia mencapai USD216,4 miliar hingga USD234,4 miliar. (AI)


Tidak ada komentar: