Jumat, Agustus 22, 2008

Program 10.00 MW jilid kedua

Untuk mengatasi kekurangan listrik dan memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara nasional yang masih terjadi di Perusahaan Listrik Negara (PLN), pemerintah menyiapkan program kelistrikan 10.000 MW tahap kedua. Program Listrik 10.000 MW tahap kedua tidak didominasi oleh energi batubara seperti halnya proyek 10.000 MW tahap pertama. Batubara hanya sebesar 30%. Selebihnya 70% berbahan panas bumi yang potensinya sebesar 27.000 MW, dan hidro atau air dengan potensi 60.000 MW, serta ditambah oleh energi baru dan energi terbarukan.

Kebutuhan lisrik sekarang ini tumbuh hampir 10%, khususnya di beberapa di luar Jawa. Direncanakan pembangkit berbahan bakar batubara akan dibangun di luar Jawa. Alasannya, beban pembangkit listrik dan dampak polusi batubara di Jawa sudah cukup tinggi. Nantinya, kebutuhan listrik di Jawa akan disalurkan melalui transmisi dari luar Jawa.

Menurut Ketua Tim Harian Proyek Percepatan 10.000 MW Yogo Pratomo, proyek listrik 10.000 MW tahap kedua ini, diproyeksikan membutuhkan total dana sebesar USD8 hingga 9 miliar. Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan, proyek akan dibiayai melalui penerbitan global bond dan perbankan dari dalam dan luar negeri. PT PLN telah menandatangani kesepakatan pinjaman dengan Bank of China dan China Exim Bank untuk proyek tersebut. Bunga pinjaman relatif rendah dan akan meningkat seiring perubahan kondisi global.

Sementara itu, kebutuhan dana untuk proyek listrik 10.000 MW tahap pertama, masih mengalami kekurangan sekitar Rp47,9 triliun dari total dana yang dibutuhkan seluruhnya sekitar Rp98,1 triliun. Dari kebutuhan dana Rp98,1 triliun, sebanyak 15% telah dipenuhi PLN atau sekitar Rp14,7 triliun. Sedangkan 55% atau sekitar Rp83,4 triliun berasal dari pinjaman, antara lain bank di China. PT PLN baru bisa menyelesaikan 20% dari total proyek atau sebesar 1.890 MW hingga akhir tahun 2009. Padahal, pemerintah menargetkan mega proyek ini bisa kelar sebelum Pemilu 2009 mendatang.

Berdasarkan data Departemen ESDM, proyek dengan landasan Perpres No.71/2006 tentang penugasan kepada PLN untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan bahan bakar batubara ini, baru 9 PLTU dengan kapasitas 6.830 MW dalam tahap konstruksi. Sementara itu satu lokasi dalam tahap lelang dengan kapasitas 600 MW. Kesepuluh PLTU ini berada di Pulau Jawa. Di luar Pulau Jawa, terdapat 22 lokasi dengan total kapasitas 2.121 MW. Sebelas lokasi (1.441 MW) sedang dalam tahap konstruksi dan sisanya 14 lokasi (780 MW) dalam proses kontrak. Akhir tahun 2010, diharapkan proyek itu akan kelar 80% atau 8.600 MW, sedangkan pada tahun 2011-2012 selesai 100%.

Namun demikian, pemerintah akan menghitung ulang kenaikan biaya pembangunan PLTU 10.000 MW, mengingat lonjakan harga baja di pasar internasional yang sudah menembus USD850/ton. Kenaikan harga baja semakin menjadi kendala dalam merealisasikan proyek pembangunan PLTU berkapasitas di bawah 100 MW mengingat sekitar 17% hingga 36% biaya bahan baku berasal dari baja seperti boiler, generator, dan turbin.

Pembengkakan biaya produksi akan kian besar jika kapasitas PLTU tersebut semakin kecil. Untuk PLTU berkapasitas 7 MW misalnya, kenaikan harga baja itu diperkirakan akan mendongkrak biaya produksi menjadi 36%. Sementara PLTU berkapasitas 60 MW-100 MW, kenaikannya hanya sekitar 17%.

Menperin Fahmi Idris mengatakan, kebutuhan listrik untuk masyarakat maupun industri diperkirakan belum akan tercukupi sampai pemerintah menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang akan dilakukan pada tahun 2009/2010 dan selesai tiga tahun kemudian. Saat ini krisis pasokan listrik tidak bisa dihindarkan karena program pembangunan pembangkit listrik batu bara 10.000 MW belum selesai. Meski demikian, kalaupun pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW selesai pada 2009, maka kebutuhan listrik di Indonesia tetap belum tercukupi.

Menperin yakin dengan tambahan pembangkit listrik total sebesar 20.000 MW, maka Indonesia akan lebih leluasa untuk pemakaian listrik dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan. Tapi setelah itu harus lagi disiapkan program pengadaan listrik berikutnya. Pasalnya, sebagai negara yang semakin berkembang, kebutuhan listrik sangat besar. Kebutuhan listrik merupakan ukuran bagi daya beli dan kemajuan ekonomi suatu negara. Bila permintaan listrik tumbuh, berarti ada masyarakat pengguna dan industri yang berkembang.

Sayangnya, keinginan PT PLN menambah kapasitas listrik 10.000 MW pada tahun 2009 akan terkendala oleh kondisi daerah yang belum segera memberi izin lokasi atau membebaskan lahan demi kelancaran proyek PLN. Hal itu tercermin dari tersendatnya proyek PLTA Asahan III di Sumatera Utara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Rembang, Jawa Tengah.PLTA Asahan hingga kini belum mendapat izin lokasi dari Gubernur Sumut Syamsul Arifin, padahal DPRD Sumut sudah merekomendasi gubernur seharusnya segera memberi izin lokasi pembangunan PLTA Asahan III. Hal serupa terjadi pada proyek PLTU 1 Rembang karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng belum bisa membebaskan sebagian lahan untuk proyek itu.

Padahal menurut Ketua DPRD Sumut Abdul Wahab Dalimunte, berdasar rekomendasi panitia khusus ketenagalistrikan DPRD Sumut, gubernur sudah diminta segera memberi izin lokasi untuk proyek PLTA berkapasitas 174 MW itu. PLN sudah memiliki dana pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk memulai proyek itu. Namun, PLN belum memulainya karena belum mengantongi izin lokasi dari Gubernur Sumut. Saat ini pembangunan PLTU 1 Jateng masih sesuai jadwal. Sikap akomodatif ditunjukkan oleh Pemprov Jabar dan Pemprov Jatim yang mendukung dengan menyiapkan pengadaan lahan, sosialisasi proyek tersebut kepada masyarakat, dan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Penggunaan air sebagai sumber energi listrik 10.000 MW tahap kedua membutuhkan sepuluh bendungan baru. Dari air diperkirakan mampu menghasilkan energi 70.000 MW. Namun saat ini baru sekitar 6%, atau 3.529 MW yang dimanfaatkan. Daerah yang berpotensi untuk dibuat bendungan, seperti di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumbar, dan beberapa provinsi di Jawa. Strategi tersebut didukung oleh murahnya biaya operasional untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yaitu Rp140 untuk menghasilkan satu kWh. Pembangkit yang menggunakan batu bara memakan biaya Rp500/kWh, sedangkan pembangkit bertenaga diesel berbiaya Rp3.000/kWh. (AI)

Tidak ada komentar: