Jumat, Juli 04, 2008

Permasalahan UMKM saat ini

Tak dapat dipungkiri bahwa Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sangat mempengaruhi roda pertumbuhan perekonomian Indonesia. Pada tahun 2007 terdapat sekitar 48.929.636 unit UMKM yang terdistribusi dalam sembilan sektor. Sembilan sektor tersebut menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1.778,75 triliun, atau sekitar 53% dari PDB nasional. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, ternyaa UMKM mampu memberi pekerjaan pada 85,4 juta jiwa.

Hal ini jelas sebuah prestasi yang luar biasa. Sayangnya, di lapangan masih saja terjadi para pelaku UMKM kesulitan dalam pemodalan, baik disebabkan karena ketidaktahuan mereka dalam program pemerintah yang terkait dengan pendanaan maupun pihak bank yang masih tebang pilih dalam memberikan bantuan kredit. Termasuk di sini adalah masalah penjaminan keberlangsungan hidup UMKM masih dirasakan kurang. Misalnya, tumbuh suburnya hypermarket-hypermarket di Indonesia yang langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi laju pertumbuhan UMKM-UMKM yang ada.

Di samping masalah permodalan dan keberpihakan, ada satu masalah lagi yang saat ini sedang marak, yakni pemadaman listrik. Padamnya listrik di beberapa daerah membuat banyak UMKM kesulitan. Di sejumlah wilayah di Kota dan Kabupaten Madiun, Jawa Timur, pemadaman listrik membuat sejumlah UMKM milik masyarakat lumpuh.

Pekerjaan pengusaha pengelasan besi di Desa Rejomulyo, Kecamatan Kartoharjo sering harus terhenti karena listrik padam. Akibatnya mereka tidak bisa mengerjakan berbagai produk, seperti pagar dan teralis. Kalau biasanya untuk mengerjakan pagar membutuhkan waktu hanya dua hari, saat ini bisa mengerjakan hingga satu minggu lamanya. Para pengusaha berharap agar PLN tidak terlalu sering memadamkan listrik. Pasalnya, setiap satu kali pemadaman, bisa berlangsung antara enam jam hingga delapan jam lamanya.

Di Purbalingga, Jawa Tengah, pemadaman mengganggu proses dan kapasitas produksi pengusaha UMKM maupun pengusaha besar, serta mendorong kenaikan biaya produksi. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Purbalingga Saryono, tanpa listrik PLN, perusahaan harus menggunakan genset. Untuk menyalakan genset, perlu biaya lebih besar. Apalagi sekarang harga BBM naik. Di Purbalingga banyak UMKM industri rambut berskala ekspor.

Gangguan yang terjadi bukan karena produk tidak laku atau produksi kurang terserap di pasar ekspor, tetapi pemadaman menyebabkan keterlambatan produksi. Bila hal ini terus berlangsung akan menimbulkan ketidakpercayaan pembeli di luar negeri. Para pengusaha memahami kondisi kritis dalam produksi energi kelistrikan yang dihadapi PLN. Namun, pengusaha berharap PLN berkoordinasi dan memberi tahu sebelum pemadaman. Selama ini, PLN memadamkan listrik secara tiba-tiba. Akibatnya, dunia usaha tidak bisa bersiap-siap.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pemadaman listrik yang dilakukan PLN secara bergiliran sudah tak konsisten dengan jadwalnya, sehingga imbasnya sangat besar bagi UMKM. Walaupun pengusaha jasa pencucian pakaian (laundry) di Banjarmasin telah menggunakan genset, namun tetap tidak bisa menuntaskan pekerjaan karena daya listriknya sangat terbatas. Seharusnya mereka bisa menyelesaikan dalam dua hari pekerjaan, kini sampai lima hari. Padahal setiap harinya mereka mendapatkan jasa mencuci dari para pelanggan hingga ratusan kilo pakaian.

Kerugian UMKM yang menjalankan usaha fotokopi juga sangat terasa saat pemadaman listrik terjadi. Mereka tidak bisa mengoperasikan mesinnya hingga membuat kerugian mencapai ratusan ribu rupiah. Sehari saja mereka tidak beroperasi, sekitar Rp100 ribu penghasilan mereka hilang. Pemadaman listrik sekarang ini dinilai paling parah, karena tidak terjadi satu atau dua jam saja, tetapi siang hari juga kerap terjadi pemadaman.

Sementara itu, dalam rangka memberikan keleluasaan bagi UMKM untuk mengembangkan usahanya, Panitia Kerja Paket RUU Perpajakan mengusulkan penurunan tarif pajak penghasilan yang dibayar secara angsuran atau cicilan (PPh Pasal 25) oleh UMKM menjadi 0,75%/bulan dari tarif sebelumnya sebesar 2%. Ketua Panja Paket RUU Perpajakan DPR Melchias Markus Mekeng mengatakan, tarif 0,75% itu diperhitungkan atas atas peredaran bruto atau omzet per tahun.

Dengan tarif baru ini, kewajiban pembayaran UMKM akan berkurang signifikan. Misalnya, UMKM beromzet Rp4,8 miliar/tahun atau rata-rata penghasilan per bulan Rp400 juta, harus menyetorkan pajaknya sebesar Rp8 juta/bulan. Dengan adanya penurunan tarif ini, kewajiban pajaknya menjadi hanya Rp3 juta/bulan. Upaya ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan UMKM sehingga sektor ini dapat berperan lebih besar menyerap tenaga kerja dan memacu pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, penurunan tarif ini diyakini mempermudah petugas pajak melakukan penarikan. Pasalnya, dengan tarif yang ringan, keinginan pengusaha sektor UMKM untuk membayar pajak akan semakin besar.

Menanggapi hal ini, Ronny Bako, pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan yang juga peneliti hukum perpajakan DPR, mengatakan pemerintah dan parlemen harus menyesuaikan pajak baru bagi UMKM yang sejalan dengan UU UMKM baru. Langkah ini, perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih aturan.

Pada tanggal 10 Juni 2008, rapat paripurna DPR mengesahkan RUU UMKM menjadi undang-undang. Fraksi-fraksi DPR memandang bahwa UMKM harus mendapatkan perlindungan yang memadai karena kegiatan usaha itu mampu memperluas lapangan kerja dan memberi pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat. UU UMKM juga mengatur kriteria UMKM agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menentukan UMKM tersebut.

UMKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang berdiri sendiri dan memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Menurut Keputusan Presiden RI No.99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Secara kuantitas UMKM memang unggul, hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar usaha, atau lebih dari 99%, di Indonesia berbentuk UMKM. Namun secara jumlah omzet dan aset, apabila keseluruhan omzet dan aset UMKM di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional. Tapi hal ini tidak menjadi masalah bila ternyata kinerja UMKM lebih baik dibanding usaha besar. (AI)


Tidak ada komentar: