Senin, Juli 07, 2008

Panas bumi

Perkembangan panas bumi di Indonesia masih berjalan sangat lambat. Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dari potensi panas bumi yang mencapai 27.000 MW baru terealisasi 19 MW. Salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya perkembangan panas bumi adalah kurangnya perhatian dari pemda-pemda terhadap lelang wilayah kerja panas bumi di daerahnya. Karena itu, pemerintah pusat akan menegur pemda-pemda tersebut. Jika terus membandel, mekanisme lelang akan dikembalikan ke pemerintah pusat pada putara lelang tahun depan.

Saat ini ada sembilan wilayah kerja panas bumi yang proses pelelangannya diserahkan ke pemerintah daerah. Sembilan wilayah kerja itu berlokasi di Seulawah Agam-Aceh Besar, Jailolo-Halmahera Barat, Telaga Ngebel, Jatim, Gunung Ungaran, Jateng, Gunung Tampomas, Cisolok-Cisukarame, Tangkuban Perahu di Jabar, Daratei Todabelu Mataloko-NTT, dan Sekincou-souh, Lampung. Total potensi panas bumi dari sembilan proyek ini mencapai sekitar 600 MW.

Hingga saat ini, baru Jabar yang paling maju proses lelangnya. Untuk pengembangan panas bumi di daerah ini, sudah ada 17 perusahaan lokal dan asing yang mengikuti lelang untuk pembangkit listrik panas bumi. Beberapa perusahaan besar yang masuk antara lain Chevron dan Medco.

Sementara itu Kementerian Negara BUMN menyatakan akan mempercepat pembentukan badan usaha baru yang bergerak di bidang pertambangan panas bumi untuk mempercepat eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Tanah Air yang sangat potensial. BUMN tersebut direncanakan merupakan sebuah badan usaha hasil peleburan PT Geodipa, sebuah perusahaan patungan PT Pertamina dan PT PLN.

Pertamina memiliki saham di Geodipa sebesar 65% sedangkan PLN sebanyak 35%. Selain Geodipa, PT Pertamina Geothermal Energi (PGE) yang merupakan anak usaha Pertamina juga akan melebur di BUMN baru itu. Proses restrukturisasi itu merupakan amanat UU No.22 tahun 2001 tentang migas yang mewajibkan Pertamina hanya bergerak di satu bidang yaitu migas saja.

Geodipa mengelola dua wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi yaitu di Dieng, Jateng dan Patuha, Jabar. Dieng sudah memproduksi listrik sebesar 60 MW, sedangkan Patuha belum memproduksi hingga saat ini. Sementara itu, PGE menguasai 15 WKP panas bumi dengan daya terpasang 800 MW. WKP berlokasi di Kamijo, Salak, dan Lahendong.
Pembentukan BUMN pengelola panas bumi ditargetkan selesai pada akhir tahun 2008 ini. Pembentukan BUMN geotermal mendesak, karena mulai tahun 2009 pemerintah akan mencanangkan program 10.000 MW tahap kedua. Dari jumlah 10.000 MW ini diharapkan 5.000 hingga 6.000 MW di antaranya berasal dari energi panas bumi.

Keputusan pemerintah menentukan harga jual maksimum listrik panas bumi antara 80-85% terhadap biaya pokok produksi (BPP) listrik 2008 berdasarkan regionalisasi, dianggap belum konsisten terhadap nilai keekonomian. Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Suryadharma mengatakan, harga panas bumi yang menyesuaikan harga BPP listrik per regional, ada yang terlalu tinggi melebihi keekonomian, ada juga terlalu rendah hingga kurang ekonomis. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap implementasi ketetapan ini. Akhirnya akan menghambat pengembangan pembangkit listrik panas bumi yang ramah lingkungan.

Harga listrik panas bumi harus konsisten mendekati keekonomian untuk masing-masing regional. Jika harga terlalu tinggi akan menyulitkan pengajuan kelayakan proses lelang. Hingga tidak ada artinya jika PT PLN sebagai pembeli listrik panas bumi enggan membeli. Sementara harga yang terlalu rendah juga tak menarik minat investor mengembangkan pembangkit listrik panas bumi. Harga listrik yang lebih rendah dari keekonomian terdapat di Sumbar hingga Lampung, sedangkan harga terlalu tinggi di Sumut dan Aceh.

Sebelumnya Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen ESDM telah menetapkan BPP listrik berdasarkan regional. Dalam Permen ESDM No.14/2008 disebutkan harga jual maksimum listrik panas bumi 80% terhadap BPP untuk tegangan tinggi dengan kapasitas pembangkit di atas 55 MW. Untuk tegangan menengah (10 MW-55 MW) 85%.
BPP pada sistem Jawa-Madura-Bali Rp783/kWh untuk tegangan tinggi, Rp849-Rp859/kWh untuk tegangan menengah, dan Rp1.011-Rp1.030/kWh untuk tegangan rendah. BPP untuk sistem Sumatera bagian selatan, Sumbar, dan Riau ditetapkan Rp565/kWh untuk tegangan tinggi, Rp667-Rp1.164/kWh tegangan menengah, dan Rp860-Rp1.433/kWh untuk tegangan rendah.

Untuk sistem Sumatera bagian utara yang meliputi NAD dan Sumut, BPP untuk tegangan tinggi ditetapkan Rp1.891/kWh, tegangan menengah Rp1.984-Rp2.158/kWh, dan tegangan rendah Rp2.306-Rp2.603/kWh. Sedangkan sistem tegangan menengah di NTT ditetapkan Rp2.433/kWh dan tegangan rendah Rp3.072/kWh. Adapun di sistem NTB, PLN menetapkan BPP tegangan menengah Rp2.289/kWh dan tegangan rendah Rp2.743/kWh.

Senada dengan Suryadharma, Direktur Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Air Tanah Ditjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Sugiharto Harsoprayitno khawatir pengembangan pembangkit ini terhambat jika harga tidak sesuai keekonomian. Misalnya, harga listrik panas bumi regional Sumbar hingga Lampung berdasarkan kajian teknis, berkisar USD7-8 sen/Kwh, tapi harga maksimum yang ditetapkan Ditjen Listrik justru kurang dari USD7 sen/kWh.

Dikhawatirkan harga di bawah keekonomian akan menghambat pengembangan pembangkit panas bumi di wilayah itu. Padahal, di daerah itu potensi panas bumi cukup signifikan. Di Lampung, misalnya, tercatat cadangan 1072 MWe, 20 MWe diantaranya dinyatakan sudah terbukti. Di Sumsel ada potensi 794 MWe, Jambi 258 MWe, Bengkulu 600 MWe dan Sumbar 758 MWe. Sebaliknya, harga listrik panas bumi Aceh dan Sumut justru terlalu mahal, sekitar USD20 sen.

Produksi lsitrik panas bumi diprediksi terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi menyebutkan, dari 27.000 MWe potensi panas bumi di Tanah Air, hingga saat ini sudah dimanfaatkan 1.042 MWe. Pada tahun 2009, produksi listrik panas bumi direncanakan bertambah seiring penambahan kapasitas produksi dari pembangkit Wayang Windu, Jabar, dari 110 MWe menjadi 220 MWe.

Menristek Kusmayanto Kadiman mengatakan, dalam lima tahun mendatang energi panas bumi akan lebih murah dari batubara. Penggunaan energi panas bumi setidaknya akan lebih efesien dibanding solar. Perbedaan harga saat ini bisa dikompensasi jika beberapa faktor kelebihan energi panas bumi bisa dianggap sebagai keuntungan yang tidak bisa dinilai secara ekonomi. Pertama, energi panas bumi itu non-tradeable. Artinya, energi ini tak bisa diperjualbelikan di dalam maupun luar negeri. Kedua, jenis energi ini ramah lingkungan, dalam arti tidak menimbulkan polusi udara. Ketiga, panas bumi termasuk kategori terbarukan. (AI)


Tidak ada komentar: