Minggu, Juli 27, 2008

Pasir laut

Pengerukan pasir laut di perairan Indonesia hingga kini masih marak. Di Pulau Babi, Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, pengerukan pasir laut dilakukan oleh sedikitnya 20 kapal setiap hari dengan kapasitas angkut mencapai 60 ton/kapal. Menurut Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Aji Sularso, penambangan pasir laut ilegal marak berlangsung di Pulau Babi selama tiga tahun terakhir. Penambangan dilakukan terang-terangan tidak jauh dari bibir pantai.

Maraknya penyelundupan pasir ini disebabkan harga jualnya terus meningkat. Pasir laut tersebut diduga diselundupkan ke Singapura guna kepentingan reklamasi di negara itu yang hingga kini terus berlangsung. Kegiatan penambangan ilegal itu dilakukan dengan cara tradisional maupun semi modern. Modusnya, penambangan dilakukan menggunakan peralatan bermesin genset, kemudian pasir laut diangkut dengan perahu kecil yang ditutup kain terpal guna menyamarkan penyelundupan.

Pengambilan pasir laut membahayakan kelestarian lingkungan, karena merusak eksosistem, habitat sumber daya laut, dan turunnya muka pulau yang secara berangsur bisa berdampak pada tenggelamnya pulau. Pemerintah telah mengeluarkan larangan ekspor pasir laut melalui Permendag No.02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil. Larangan itu bertujuan memudahkan pemerintah mengontrol dan melakukan rehabilitasi lingkungan pesisir dan laut. Ketentuan pengambilan pasir laut hanya boleh dilakukan dengan peralatan tradisional apabila mengantongi izin dari pemerintah daerah dan sesuai tata ruang.

Bagi para pengusaha pasir laut pelarangan ekspor agak mengherankan. Saat pemerintah sedang disibukkan defisit APBN, ekspor pasir bisa mendatangkan pemasukan yang sangat besar bagi negara. Di Kepulauan Riau saja deposit pasir lautnya diperkirakan mencapai 1,2 triliun m3. Dengan harga pasir laut yang kini berada di level SGD15/m3, berarti cadangan pasir itu bernilai SGD18 triliun atau sekitar Rp122.904 triliun (asumsi kurs SGD1=Rp6.828).

Pasir sebanyak itu tentu tak bisa sekaligus disedot. Akan tetapi, setiap tahunnya dipastikan akan mendatangkan devisa yang lumayan besar. Jika merujuk pada aturan main sebelum terjadi pembekuan ekspor sementara, dari pajak ekspor (PE) pemerintah pusat akan memperoleh bagian sebesar 15%. Artinya dalam setahun pemerintah pusat bisa mengantungi tambahan pendapatan dari PE sekitar Rp15,3 triliun lebih. Sementara yang diperoleh pemda pun tak kalah besarnya karena pemda memungut pajak dan berbagai jenis iuran.

Mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, masih perlu dibuktikan. Menurut seorang eksportir, penyedotan pasir tak akan membuat lingkungan dasar laut menjadi rusak. Pasalnya, penambangannya dilakukan oleh kapal-kapal besar yang canggih. Sehingga tak mungkin menyedot terumbu karang dan barang-barang lainnya yang berada di dasar laut lantaran alat penyedotnya sudah dilengkapi dengan sensor. Bahkan sebaliknya, penambangan pasir laut bisa membantu untuk pendalaman alur.

Misalnya dengan memakai kapal jenis TSHD (Trailer Suction Hopper Dredger) yang dilengkapi dengan DGPS (Differential Global Posiytioning System). Kapal ini memang didesain untuk menyedot pasir dan melakukan kegiatan reklamasi. Yang tak kalah pentingnya, Indonesia juga tak perlu merasa khawatir pasirnya habis diekspor karena sebagai lokasi pertemuan arus laut China Selatan dan Samudera Hindia, pasir akan datang dengan sendirinya.

Asosiasi Pengusaha Penambangan dan Pemasaran Pasir Laut Indonesia (AP4LI), selaku wadah para pengusaha pendulang pasir laut terus berupaya, melobi pemerintah, juga menteri terkait, agar keran ekspor pasir laut bisa segera dibuka. Menurut Humas AP4LI Sri Budjono, AP4LI juga telah melakukan lobi dengan Menlu Singapura supaya Menlu Singapura meyakinkan Pemerintah Indonesia bahwa ekspor pasir laut tidak akan mengubah batas teritori Indonesia-Singapura.

Sampai saat ini, pemerintah melalui Depdag masih melarang ekspor pasir laut. Pelarangan itu dilakukan lantaran eksploitasi pasir laut dikhawatirkan merusak lingkungan dan ekosistem laut. Ditambah lagi, penetapan harga jual pasir tidak fair. Berdasarkan data tahun 1976-2005, volume pasir laut yang diekspor ke Singapura untuk reklamasi mencapai 1,8 miliar m3. Jika rata-rata dihargai SGD10/m3, maka nilainya mencapai Rp105 triliun. Namun belum jelas uang ini masuk ke kantong siapa.

Berdasarkan informasi Ditjen Pengawasan dan Perlindungan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, praktik pengangkutan pasir laut di Tanjung Balai Karimun ke Singapura selama ini tetap berlangsung, walau ekspor pasir laut telah dilarang. Penambangan pasir laut yang terjadi di Pulau Babi dilakukan di zona larangan dan dilakukan tidak jauh dari bibir pantai serta dengan kedalaman lebih dari empat meter. Kegiatan penambangan ini dilakukan secara tradisional maupun semi modern dan umumnya sudah dilakukan dalam tiga tahun terakhir. Dari catatan DKP, pengangkutan pasir laut di Pulau Babi setiap hari dilakukan oleh 20 kapal dengan ukuran bervariasi, mulai dari satu gross ton (GT) hingga 30 GT.

Akibat ekspor pasir laut legal maupun ilegal selama 10 tahun terakhir, terjadi kerusakan lingkungan sangat parah di sejumlah pulau dan pesisir di Provinsi Kepri dan sekitarnya. Pulau Nipah menghilang dari permukaan laut dan Pulau Sebaik rusak parah. Dampak kerusakan lingkungan itu mulai dirasakan pengusaha perikanan. Biaya pemulihan lingkungan pun sangat besar. Pulau Nipah sebagai batas maritim wilayah Indonesia dengan Singapura, harus dipulihkan dengan cara direklamasi dengan biaya awal Rp320 miliar. Jumlah ini dinilai tak sebanding dengan pendapatan asli daerah Kepri dari eksploitasi pasir laut.

Akan tetapi karena memiliki nilai ekonomis tinggi, tak heran ada pihak-pihak yang terus bermanuver secara bisnis dan politis agar kran ekspor pasir laut dapat dibuka kembali. Menanggapi hal ini Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Karimun Hijau yang membidangi lingkungan Rahmad Kurniawan menegaskan, akan berada di garda depan dalam menggugat pemerintah apabila membuka kembali kran ekspor pasir laut.
Kerusakan yang timbul pascaeksploitasi pasir laut di Karimun selama lima tahun belum dapat diperbaiki hingga kini. Contohnya Pantai Pelawan yang terletak di Utara Pulau Karimun Besar, dulu sangat landai. Dari bibir pantai hingga ke laut diperkirakan mencapai 100 m. Saat ini pantai tersebut tinggal separuhnya. (AI)


Tidak ada komentar: