Senin, Juli 21, 2008

Baja

Cerahnya prospek industri baja membuat banyak investor asing berlomba mendapatkan PT Krakatau Steel (KS), saat perusahaan industri baja nasional itu akan diprivatisasi. Industri besi baja merupakan salah satu industri yang paling berpotensi dalam industri manufaktur. Menurut pengamat ekonomi Faisal Basri, industri baja tahun 2008 ini memberi sumbangan sekitar 28,4% pada Produk Domestik Bruto (PDB), diperkirakan masih terus berkembang hingga mencapai 35% dalam 20 tahun ini.

Beberapa perusahaan asing yang melirik KS antara lain Arcellor Mittal dan Bluescope. Tujuan Arcelor Mittal untuk menjadi mitra stategis KS adalah untuk meluaskan pangsa pasar dunia yang telah mereka kuasasi sekitar 10%. Langkah mereka tersebut sebagai bentuk penetrasi pasar untuk membangun konsolidasi perluasan pasar baja global mereka. Mittal memang mengincar nilai tersembunyi KS, yakni sarana infrastruktur yang sudah memadai karena dibentuk selama 34 tahun.

Merger Arcelor dan Mittal di tahun 2006 terkenal sebagai puncak konsolidasi perusahaan baja dunia. Gabungan dua perusahaan itu membuat lini produksinya sebagai terbesar di dunia dengan produksi 116 juta ton/tahun atau sekitar 10% produksi baja global, jauh mengungguli Nippon Steel, Posco, Tata Steel, Shagang, dan US Steel. Bendera baru itu pun pada tahun 2007 tak menghentikan gairah mengakuisisi perusahaan baja di belahan dunia lainnya. Tidak kurang dari 35 transaksi strategis, baik dalam bentuk akuisisi maupun investasi tercapai pada tahun 2007, dengan total nilai sekitar USD12,3 miliar.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi mengatakan, KS memerlukan pemain baja kelas dunia sebagai mitra strategis agar kinerjanya berkembang lebih cepat, baik dalam produksi maupun pasarnya. Tujuan utama BKPM dan Depperin adalah menggandakan produksi baja KS agar bisa memenuhi kebutuhan domestik. Di samping itu, dengan penjualan stategis dalam privatisasi KS, BUMN baja itu tidak dipermainkan perusahaan penyedia bahan baku bijih besi.

Menurut Menperin Fahmi Idris, tujuan utama privatisasi adalah tidak sekadar mendapat dana, tetapi juga kemampuan menggandakan produksi baja di dalam negeri, yang saat ini kebutuhannya sekitar 6 juta ton/tahun. Sedangkan KS hanya berproduksi 2,5 juta ton dan perusahaan baja lainnya hanya sekitar 1,5 juta ton. Jadi masih defisit 2 juta ton dan ini terpaksa harus diimpor.

Akibat kekurangan baja itu, pasokan baja untuk industri otomotif di dalam negeri ikut tersendat. Akibatnya, industri otomotif, seperti perusahaan Jepang di Indonesia, sering meminta pemerintah menghapuskan bea masuk baja khusus dalam kerangka kemitraan ekonomi Indonesian Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA). Terkait hal ini, sekitar 1,5 juta ton produk baja khusus (special steel) impor asal Jepang akan masuk pasar domestik secara bertahap pada tahun 2008 ini.

Angka itu meningkat sekitar 50% dari konsumsi selama ini yang rata-rata mencapai 1 juta ton/tahun. Lonjakan volume impor itu disebabkan kedua negara bersepakat menghapuskan bea masuk komoditas baja khusus dari patokan tarif sebesar 5%-12%. Dengan adanya kesepakatan itu, impor baja khusus dari negara non-Jepang tetap diberlakukan tarif sesuai dengan most favorable nations (MFN).

Baja khusus merupakan salah satu komoditas unggulan Jepang yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Baja khusus merupakan produk hilir baja yang tahan terhadap titik didih hingga 1.500 derajat Celcius dan tekanan tinggi. Baja khusus berguna untuk melindungi instrumen pada produk manufaktur. Oleh karena itu, dalam user specific duty free scheme (USDFS), pemerintah memberikan fasilitas 0%.

Perkiraan volume importasi baja khusus sebanyak itu dilakukan oleh empat sektor manufaktur seperti industri otomotif, elektronik, alat berat, dan industri penunjang migas untuk pengeboran lepas pantai (offshore) dan darat (onshore). Sektor otomotif termasuk industri alat berat merupakan salah satu konsumen terbesar produk baja khusus, yakni sekitar 70%.

Sebelum ada IJ-EPA, keempat sektor manufaktur itu harus membelanjakan dana sedikitnya USD1 miliar untuk mengimpor baja khusus dengan skala harga sekitar USD1.000/ton sebelum pajak. Saat ini, harga baja khusus diperkirakan telah menembus di atas USD1.200/ton. Tahun 2009, konsumsi baja khusus diperkirakan bisa meningkat menjadi 2 juta ton karena permintaan sektor industri penunjang migas akan terdongkrak seiring dengan program pemerintah meningkatkan target lifting minyak menjadi 1 juta barel/hari.

Sementara itu, sebanyak 16 dari 17 perusahaan industri baja lapis seng (bjls) terancam tutup akibat naiknya biaya produksi menyusul kenaikan harga baja dan rendahnya daya saing dengan produk sejenis dari impor. Harga seng sebagai salah satu bahan baku bjls terus meningkat dari USD700/ton mejadi sekitar USD2.300-USD3.000/ton, bahkan pernah menyentuh angka USD4.000/ton. Secara total, kegiatan produksi industri bjls nasional sudah berkurang sekitar 50%.

Padahal, menurut Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Depperin Anshari Bukhari, pemanfaatan kapasitas produksi industri bjls nasional saat ini saja sudah sangat rendah yaitu sekitar 30%. Saat ini produksi bjls hanya sekitar 329 ribu ton/tahun, dari kapasitas terpasang 1,2 juta ton/tahun. Sedangkan konsumsi mencapai 400 ribu - 500 ribu ton/tahun, sehingga impor mencapai 184 ribu ton/tahun.

Lesunya kegiatan produksi bjls sebenarnya terjadi sejak tahun 2007, seiring dengan naiknya harga baja terutama baja canai dingin (CRC) yang menjadi bahan baku bjls. Harga CRC yang akhir tahun 2007 lalu mencapai USD790/ton, naik menjadi USD830 pada Januari 2008 dan pada Februari-April 2008 telah menjadi USD920/ton.

Gapsi mengharapkan pemerintah membebaskan bea masuk (BM) CRC yang saat ini sebesar 10% guna menyelamatkan industri yang mempekerjakan sekitar 5.000 orang tersebut. Sementara itu perbedaan BM CRC dengan bjls hanya sekitar 2,5%. BM CRC sebesar 10%, sedangkan bjls 12,5 %. Perbedaan BM yang tipis itu membuat produsen bjls sulit bersaing dengan produk impor.

Sementara itu, harga pipa baja pada pertengahan Juni 2008 menembus USD1.600/ton. Harga tersebut melonjak 60% dibandingkan dengan harga awal tahun 2008 yang masih USD1.000/ton. Kenaikan harga pipa baja itu merupakan angka akumulatif yang dihitung dari lonjakan harga bahan baku baja berupa baja canai panas (HRC). Berdasarkan catatan KS, harga HRC pada Mei 2008 telah menembus USD1.100/ton, sedangkan di pasar domestik HRC diperdagangkan pada kisaran Rp11.700/kg sebelum pajak. Saat ini pasar pipa baja terus menyusut seiring dengan perlambatan ekonomi yang dipicu oleh kenaikan harga energi dan tingginya inflasi. (AI)


Tidak ada komentar: