Senin, November 10, 2008

Nasib pekerja migran

Laju pertumbuhan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri yang tidak seimbang, membuat jumlah pekerja migran diperkirakan akan terus meningkat. Menurut Labour Economist Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Kee Beom Kim, jumlah pekerja migran Indonesia yang terdata akan meningkat menjadi 10 juta orang pada tahun 2015 dari sekitar 4,3 juta orang pada tahun 2007.

Sementara itu Direktur Eksekutif Migrant Care - organisasi yang memantau dan memberikan bantuan kepada buruh migran - Anis Hidayah mengatakan, laju pertumbuhan migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Sebagian besar tenaga kerja yang bermigrasi tersebut masih akan bekerja pada sektor-sektor informal, bukan sektor formal yang membutuhkan pekerja dengan keahlian.

Padahal pemerintah mendorong migrasi tenaga kerja ke luar negeri karena mendatangkan keuntungan berupa remitansi atau kiriman uang dari para tenaga kerja tersebut di luar negeri. Di sisi lain pemerintah juga mengabaikan tingkat kesejahteraan pekerja migran tersebut. Kualitas hidup pekerja migran dan keluarganya tidak serta merta-membaik, setelah mereka bekerja di luar negeri. Tingkat pendidikan bagi keluarga para pekerja migran juga tidak diperhatikan oleh pemerintah, sehingga anak-anak mereka dipastikan akan mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya. Pekerja migran merupakan salah satu solusi yang dipilih pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran, akibat minimnya lapangan kerja yang tersedia di dalam negeri.

Desakan liberalisasi pekerja migran di dunia ini merupakan faktor yang tidak bisa dielakkan oleh negara-negara maju. Kebutuhan akan pekerja asing pada sektor formal seperti bidang konstruksi, pengeboran lepas pantai, pekerja bidang kesehatan, dan pekerja formal sektor lainnya merupakan keniscayaan zaman (necessary conditon). Setelah liberalisasi bidang keuangan dan perdagangan, kini dunia sedang menghadapi keterbukaan negara-negara industri maju seperti Eropa, AS, Kanada, dan Jepang untuk membuka diri terhadap kehadiran tenaga kerja migran, khususnya dari Indonesia.

Sayangnya, jumlah tenaga kerja bermasalah meningkat seiring dengan naiknya jumlah TKI yang mengadu nasib di negeri seberang. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, tenaga migran Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 196.635 orang. Dari jumlah itu, yang terbanyak adalah ke Malaysia (66.816 orang) dan Arab Saudi (60.014 orang). Menakertrans Erman Soeparno menyatakan, jumlah pekerja migran yang bermasalah pada tahun 2008 ini diperkirakan mencapai 80.000 orang. Padahal, pada tahun 2007 hanya sekitar 36.000 orang.

Permasalahan yang terjadi juga bermacam-macam. Dari soal gaji, masalah dengan majikan, hingga penyalahgunaan paspor. Di Singapura, misalnya, perusahaan yang menjadi agen tenaga kerja memotong upah mereka hingga hanya tersisa SGD10 atau sekitar Rp700.000, dan ini berlangsung hingga delapan bulan. Setelah itu, barulah para pembantu itu mendapat gaji secara utuh. Kalau penuh, para pembantu itu bisa menerima rata-rata SGD300 hingga SGD350/bulan. Pemotongan itu adalah ganti biaya perjalanan dan administrasi mereka ke Singapura.

Aturan seperti itu sebenarnya melanggar konvensi ILO. Recruitment fee seperti itu hanya akal-akalan untuk menangguk keuntungan yang besar. Selama pengiriman TKI ini memberikan keuntungan yang luar biasa, selama itu pula masalah TKI tidak akan bisa diselesaikan. Tidak berhenti sampai di situ, para pekerja migran itu juga dicurangi oleh sistem ketika pulang kampung. Seperti banyaknya prosedur dan tarif yang diterapkan ketika melewati terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Lemahnya pengawasan dan perlindungan pemerintah Indonesia kepada pekerja rumah tangga yang dikirim ke luar negeri juga mengakibatkan banyak ditemui kejadian yang mirip praktik perbudakan, termasuk kasus kekerasan maupun pelecehan seksual yang dialami pekerja migran. Hasil temuan itu diungkapkan oleh Human Right Watch (HRW) yang baru saja melakukan penelitian di Arab Saudi selama dua tahun, mulai Desember 2006 sampai Maret 2008, tentang perlakuan yang didapatkan para pekerja migran di Arab Saudi.

Temuan itu didasarkan setelah HRW mewawancarai 86 pekerja rumah tangga migran. HRW menyimpulkan bahwa ada 36 pekerja yang mengalami tindak kesewenang-wenangan dari para majikan yang berakibat pada terjadinya kerja paksa, trafficking atau kondisi upah yang tidak dibayarkan, mirip seperti kondisi perbudakan. Menurut peneliti senior dari Divisi Hak Perempuan HRW Nisha Varia, bila bernasib baik perempuan migran di Arab Saudi dapat menikmati kondisi kerja yang baik juga. Akan tetapi sebaliknya, apabila bernasib buruk atau mempunyai majikan yang kejam, maka mereka akan diperlakukan seperti layaknya seorang budak.

Oleh karena itu HRW bekerja sama dengan LSM lokal yang dalam diskusi tersebut diwakili oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengajak semua elemen, baik itu yang berada di luar maupun dalam negeri untuk lebih peduli dalam memperjuangkan pembaharuan sistem yang lebih kondusif dalam menjaga hak-hak asasi para pekerja migran. Pemerintah Arab Saudi memiliki beberapa usulan pembaruan, akan tetapi selama bertahun-tahun mempertimbangkan usulan tersebut tanpa ada satu tindakan apapun. Untuk itu, HRW berharap adanya kerja keras dari semua pihak, baik itu pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi dalam mereformasi bidang perburuhan, keimigrasian dan peradilan pidana untuk melindungi hak-hak para pekerja rumah tangga migran.

Senada dengan Anis Hidayah, Sri Moertiningsih Adioetomo, peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia mengatakan, sebagian besar angkatan tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor yang rentan (vulnerable employment). Bagaimana bisa diharapkan orang-orang tua yang bekerja di sektor yang rentan itu, dengan pendapatan yang sangat minim bisa memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya. Anak-anak mereka akan mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya.

Kalau pekerja migran dianggap sebagai satu jalan yang strategis untuk mengatasi masalah pengangguran, pemerintah harus menunjukkan komitmen, yakni dengan memberikan para pekerja migran perlindungan yang memadai dan lebih memperhatikan kesejahteraan mereka. Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kerap terjadi pada beragam jenis industri di dalam negeri, serta permasalahan outsourcing yang belum bisa diatasi pemerintah telah membuat migrasi ke luar negeri menjadi pilihan para pekerja yang kehilangan pekerjaannya. (AI)


Tidak ada komentar: