Rabu, November 05, 2008

Sektor farmasi mau dikeluarkan dari DNI

Kalangan pengusaha farmasi lokal meminta pemerintah mempertahankan sektor ini dalam daftar negatif investasi (DNI) kecuali jika ada perusahaan asing yang berminat menanamkan modal untuk penyediaan bahan baku. Hal ini disampaikan Ketua Pembina Majelis Kode Etik Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Syamsul Arifin yang menyatakan, pemerintah tidak perlu mengeluarkan farmasi dari DNI jika hanya bertujuan untuk memberikan akses pasar ke perusahan asing. Pasalnya, permintaan obat-obatan di pasar domestik sejauh ini sudah mampu dipenuhi oleh produsen lokal yang jumlahnya lebih dari 200 perusahaan.

Berdasarkan Perpres No.111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, industri farmasi termasuk dalam daftar bidang usaha yang terbuka dengan syarat. Ketentuan tersebut meliputi perkebunan, industri obat jadi, industri pembuatan bahan baku obat, termasuk industri farmasi yang memproduksi narkotika. Sementara sektor-sektor manufaktur yang sama sekali tertutup untuk penanaman modal adalah industri bahan kimia yang dapat merusak lingkungan, seperti penthachlorophenol, DDT, CFC/chloro fluoro carbon, industri bahan kimia skedul I untuk senjata kimia.

Jika memang pemerintah berniat mengeluarkan sektor farmasi dari DNI, sebaiknya kebijakannya diarahkan pada upaya untuk menggiring investor asing agar mengembangkan industri penyedia bahan baku obat. Dengan kebijakan ini, pasar pabrikan obat lokal tidak akan terganggu, bahkan mereka akan mendapat kemudahan dalam mengakses bahan baku yang lebih murah.

Sementara itu Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) - lembaga yang beranggotakan 29 perusahaan farmasi asing - Parulian Simanjuntak mengatakan, kondisi pasar farmasi Indonesia saat ini sudah berubah dibanding saat ketentuan DNI dibuat. Dari 10 perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, hanya satu yang merupakan perusahaan asing. Atas dasar ini IPMG mempertanyakan mengapa sektor farmasi masih harus dikapling-kapling seperti saat ini. Sementara jika ingin menarik pabrikan asing masuk ke sektor pengolahan bahan baku farmasi, pemerintah harus memberikan insentif mengingat pasar obat Indonesia kecil untuk punya pabrik bahan baku sendiri. Berbeda dengan India dan China yang mampu memenuhi 60% kebutuhan bahan baku global.

Desakan agar pemerintah membuka keran investasi di sektor farmasi ini muncul saat Vice President US-Asean Business Council William Marmon bertemu Wapres Jusuf Kalla dan Menperin Fahmi Idris. Menperin menjelaskan sektor farmasi di Indonesia yang selama ini dinyatakan tertutup oleh investor asing, akan dibuat lebih fleksibel terhadap masuknya investasi baru. Pemerintah akan mempertimbangkan sektor industri farmasi untuk dikeluarkan dari DNI guna mendongkrak pertumbuhan investasi langsung (foreign direct investment).

Sejumlah perusahaan farmasi AS masih melihat Indonesia sebagai pasar produk farmasi yang besar di Asean. Keadaan tersebut dipastikan akan meningkatkan gairah investasi dan ekspansi sektor ini di Indonesia. Di samping itu, rekomendasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kehadiran industri farmasi berbasis riset di Indonesia dalam menyediakan obat-obat baru untuk kanker, AIDS, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, hingga menyediakan kesempatan kerja serta memperluas informasi ilmiah terbaru tentang produk dan jasa sektor itu.

Selain meminta agar Indonesia meninjau ulang untuk membuka kembali investasi asing di sektor farmasi, mereka juga meminta hal yang sama untuk bisnis rumah sakit. Untuk membahas isu ini, Ketua BKPM M. Lutfi menyatakan akan menemui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Menurutnya, inefisiensi di sektor industri farmasi dan rumah sakit di Indonesia membuat belanja biaya perawatan kesehatan orang Indonesia yang dihabiskan di luar negeri mencapai USD4 miliar/tahun. Industri farmasi dan kesehatan dengan situasi saat ini, menyebabkan industri ini di Indonesia menjadi tidak efisien dan kalah bersaing.

Di sisi lain, Menkes menilai industri dalam negeri belum siap menghadapi pasar bebas. Karena itu dia meminta harmonisasi regulasi industri farmasi dalam menghadapi pasar bebas ASEAN ditunda. Menkes tidak percaya dengan klaim GP Farmasi, sebanyak 80% dari sekitar 200 industri sudah memiliki standar internasional. Pasalnya, jika klaim itu benar, industri farmasi telah menguasai Asia tanpa perlu harmonisasi.

Karena dengan melakukan harmonisasi, artinya justru menyediakan pasar bagi negara-negara Asia. Jika industri belum siap, harmonisasi hanya akan menguntungkan industri yang berskala besar tetapi yang kecil akan mati karena kalah bersaing. Menkes meminta industri belajar dari India dan China yang tidak membuka diri untuk perdagangan bebas sebelum siap bersaing. Jika industri telah mampu melayani pasar domestik dengan baik maka ekspor akan mengalir dengan sendirinya. Saat ini pasar farmasi di Indonesia sekitar 40 juta jauh lebih besar dibandingkan Singapura yang hanya 3 juta maupun Malaysia yang sepertiga dari pasar Indonesia.

Industri farmasi tampaknya harus mulai menyesuaikan diri dengan lansekap persaingan baru dan tidak hanya mengandalkan riset dan pengembangan (R&D) internal untuk menemukan obat baru. Berdasarkan data dari lembaga riset pasar farmasi Datamonitor, 20 besar perusahaan farmasi teratas di kancah dunia semakin bergantung pada produk berlisensi untuk penjualan obat etikal (resep dokter). Pada tahun 2002, sekitar 17,5% dari penjualan mereka diperoleh dari produk berlisensi. Pada tahun 2006, porsinya meningkat menjadi 22% dan diperkirakan akan mencapai 26% pada tahun 2010.

Tren lain yang menarik perhatian adalah pembelian lisensi (licensing deal) obat yang sebagian besar terjadi di fase pengembangan klinis. Sebanyak 41% dari persetujuan bisnis dilakukan pada fase ini. Jika dilihat lebih jauh, tipe deal yang terjadi umumnya dalam bentuk membeli lisensi (in-licensing) dan menjual lisensi (out-licensing). Artinya, pembeli lisensi mengambil alih seluruh kewajiban untuk pengembangan lebih jauh dari produk tersebut dan dampak komersialnya.

Dalam hal lisensi produk, persetujuan pengembangan bersama (co-development) telah meningkat sejak tahun 2002, sementara in-licensing murni telah menurun sejak tahun 2003. Ini berarti perusahaan farmasi semakin bergerak ke hulu dalam pemburuan lisensi. Di level Asean, saat ini permainan didominasi oleh perusahaan multinasional dan hanya tiga perusahaan dari Indonesia yang bertahan dalam daftar Top-20, yakni Kalbe Farma, Dexa Medica, dan Sanbe. (AI)

Tidak ada komentar: