Jumat, November 21, 2008

Nilai tukar petani turun

Pada Juli 2008 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) memutakhirkan perhitungan nilai tukar petani (NTP). Indikator pengukuran daya beli petani ini sebelumnya dihitung dengan kondisi pembanding tahun 1993. Padahal, kondisi saat ini sudah sangat jauh berbeda sehingga peningkatan dan penurunan daya beli petani tidak cukup tecermin. Menurut Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Ali Rosidi, diagram timbang NTP dengan tahun dasar 1993 yang digunakan selama 14 tahun terakhir sudah tidak peka untuk mengukur peningkatan atau penurunan kesejahteraan petani yang tercermin pada perbandingan indeks tersebut. Penggantian tahun dasar idealnya dilakukan lima tahun sekali.

Terkait dengan kelemahan perhitungan NTP itu, BPS telah menyiapkan diagram timbang baru dengan tahun dasar 2007. Diagram timbang baru tersebut mulai digunakan untuk menghitung NTP Mei 2008 dan telah diumumkan pada 1 Juli 2008 lalu. Perhitungan NTP bertahun dasar 1993 hanya mencakup 23 provinsi, sedangkan perhitungan yang baru, dilakukan di 32 provinsi. Di samping itu, NTP lama juga hanya membedakan petani dalam dua subsektor, yakni tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat. Penghitungan NTP baru membedakan petani pada lima subsektor, yakni tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Ini akan amat bermanfaat karena kondisi petani di tiap subsektor itu bisa jauh berbeda.

Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian Edi Abdurachman berpendapat, NTP selama ini digunakan sebagai data pendukung untuk memonitor dan mengevaluasi hasil program pembangunan pertanian. Namun, perkembangan NTP yang mencerminkan peningkatan atau penurunan kesejahteraan petani tidak dapat mengindikasikan berhasil atau tidaknya program pembangunan pertanian. Hal itu disebabkan perkembangan NTP tidak semata-mata diakibatkan oleh kebijakan sektor pertanian, tetapi juga kondisi di luar sektor pertanian, seperti laju inflasi.

Di Sumut, krisis keuangan global diduga menjadi penyebab turunnya NTP di sana, khususnya di subsektor perkebunan rakyat. NTP di sektor ini turun 4,36%. Meski demikian, NTP subsektor itu masih di atas 100, yakni turun dari 132,25 menjadi 126,51. Secara kumulatif, NTP di Sumut turun 1,77% dari 103,03 menjadi 101,21, sedangkan NTP subsektor padi dan palawija turun 0,28%. Menurut Kepala BPS Sumut Alimuddin Sidabalok, angka yang dilaporkan BPS masih angka September 2008 dibandingkan Agustus 2008, sedangkan angka Oktober 2008 belum dihitung.

NTP di Provinsi Lampung periode Agustus 2008 mencapai 107,99 atau naik 0,90% dibandingkan periode sebelumnya. NTP Provinsi Lampung ini lebih tinggi dari NTP nasional yang hanya sebesar 102. Dari lima subsektor pertanian yang dihitung nilai tukarnya, subsektor tanaman perkebunan rakyat memiliki indeks tertinggi. Pada Agustus 2008 lalu, NTP untuk subsektor padi dan palawija mencapai 110,31, sedangkan NTP subsektor hortikultura 102,87, subsektor tanaman perkebunan rakyat 114,70, subsektor peternakan 98,92, dan subsektor perikanan 103,04. Dari lima subsektor pertanian ini didapatkan NTP gabungan Provinsi Lampung 107,99.

Perkembangan NTP di Bali mengalami penurunan sebesar 0,39% pada Agustus 2008. Berdasarkan pantauan yang dilakukan BPS terhadap harga-harga di pedesaan pada Agustus 2008 lalu, NTP Bali menunjukkan penurunan dari bulan sebelumnya, yaitu dari 102,32 menjadi 101,91. Komoditi yang mengalami penurunan yaitu terdiri dari subsektor tanaman pangan sebesar minus 1,03% dan perkebunan rakyat minus 3,07%.

Komisi IV DPR RI meminta kepada Departemen Pertanian untuk secara lebih serius memperhatikan dan mengevaluasi NTP. Yang menjadi kerisauan DPR selama ini adalah perkembangan laju inflasi yang saat ini mencapai 11%. Bila tingkat inflasi tersebut dibiarkan bukan mustahil bisa menurunkan NTP. Departemen Pertanian pada tahun 2009 menargetkan pembangunan pertanian bisa meningkatkan NTP menjadi sekitar 105-110. Semula NTP 2009 ditargetkan bisa naik menjadi 115-120, tetapi karena BPS memutakhirkan perhitungan NTP, maka target NTP pun dikoreksi.

Menurut data BPS, NTP secara nasional pada Oktober 2008 turun dari 102 menjadi 101,69, atau turun 0,31%. Penurunan NTP bulan ini disebabkan indeks yang harus dibayar petani naik 0,76% menjadi 116 dibandingkan dengan bulan sebelumnya 115. Padahal indeks yang diterima petani hanya naik 0,45% dari 117,49 menjadi 118,02. NTP merupakan perbandingan harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayar petani dalam persentase yang menjadi indikator untuk melihat kemampuan atau daya beli petani dan menunjukkan daya tukar produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi ataupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi nilai tukar petani, maka semakin kuat pula tingkat kemampuan dan daya beli mereka.

Sementara itu, harga rata-rata gabah di tingkat petani untuk kualitas gabah kering giling (GKG) naik 2,95% dan gabah kering panen (GKP) turun sebesar 0,92%. Berdasarkan observasi, dari 781 transaksi gabah di 17 provinsi, rata-rata harga GKG di tingkat petani mencapai Rp2.968/kg berada di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp2.200/kg. Sementara harga GKP mencapai Rp2.575, juga berada di atas HPP. Menurut Kepala BPS Rusman Heriawan, seharusnya harga GKP di tingkat petani naik seiring dengan kenaikan GKG. Oleh karena itu, harus ada kebijakan lain untuk melihat kenapa harga GKP turun, sedangkan harga GKG naik.

Produksi beras tahun ini meningkat sebesar 5,46% menjadi 60,28 juta ton GKG dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 57,16 juta ton. Peningkatan tersebut disebabkan peningkatan panen seluas 195.980 ha atau 1,61% dan produktivitas 1,78 kuintal/ha atau 3,78%. Peningkatan luas lahan panen itu tidak hanya disebabkan penambahan lahan, tetapi juga disebabkan lebih efisien dalam pengolahan lahan sehingga produktivitas meningkat dan lahan-lahan yang tertanam terbebas dari puso.

Berdasarkan angka ramalan (Aram) III, produksi padi tahun 2008 ini diprediksikan naik sebesar 3,12 juta ton. Kenaikan produksi pada tahun 2008 ini diperkirakan terjadi di beberapa provinsi terutama Jatim, Jateng, Sulsel, NTB, Jabar, Sumsel, Kalbar dan Sulteng. Kenaikan produksi padi di Jawa sebesar 1,87 juta ton (6,15%) dan luar Jawa sebesar 1,25 juta ton (4,68%). Kenaikan produksi di Jawa disebabkan naiknya luas lahan panen sebesar 77.360 ha (1,36%) dan juga produktivitas sebesar 2,54 kuintal per ha (4,37%). Di luar Jawa, kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas lahan panen seluas 118.620 ha (1,83%) dan produktivitas sebesar 1,15 kuintal per ha (2,79%). (AI)


Tidak ada komentar: